Jaminan Kualitas Pelayanan Publik

Oleh: Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi II DPR RI dari FPKS
Anggota Panja RUU Pelayanan Publik


Rapat Paripurna DPR RI (Selasa, 23/6) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelayanan Publik menjadi Undang-Undang (UU). Dari sejumlah UU yang telah disahkan oleh DPR RI periode 2004-2009 mungkin inilah UU yang benar-benar bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat banyak karena berkaitan erat dengan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.

Hadirnya negara dengan segala instrumennya pada prinsipnya adalah untuk melayani warganya karena negara dibangun di atas kesepakatan (kontrak) warga negara untuk mengatur hajat hidup bersama berdasarkan prinsip keadilan dan pemerataan.

Namun sayangnya, realitas pelayanan publik yang dilakukan birokrasi dan korporasi penyelenggara pelayanan publik masih jauh panggang dari api. Rendahnya kualitas pelayanan publik, mengakibatkan masyarakat sebagai pengguna jasa harus membayar biaya yang mahal (high cost economy) untuk pelayanan publik. Ketidakpastian (uncertainty) waktu, dan ketidakpastian biaya membuat masyarakat malas dan jengkel berhubungan dengan birokrasi.

Hasil Riset lembaga The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) masih menempatkan Indonesia, disusul Thailand, sebagai negara terkorup di Asia. Indonesia mendapatkan skor 8,32, dari skor terburuk 10. Sementara Thailand memperoleh skor 7,63, disusul Kamboja dengan skor 7,25, India 7,21 and Vietnam 7,11.

Sedangkan Filipina yang menjadi negara terkorup tahun 2008 mendapatkan skor 7,0, atau menempati rangking enam sebagai negara terkorup di Asia. Sementara Singapura (1,07) , Hongkong (1,89), dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan kecurangan sektor privat. Sementara Amerika Serikat menempati urutan keempat dengan skor 2,89. Nyatanya korupsi di sektor publik dan sektor privat masih tinggi di Indonesia. Fakta ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya reformasi birokrasi di Indonesia.

Buruknya kinerja birokrasi pemerintahan di Indonesia menjadi penentu rendahnya minat masyarakat maupun perusahaan untuk melakukan investasi. Investasi yang rendah akan berdampak pada rendahnya lapangan kerja, banyaknya pengangguran dan tidak menutup kemungkinan berdampak pula pada tingkat kriminalitas yang tinggi di daerah.

Berkaca pada realitas tersebut, dibutuhkan upaya struktural untuk mereformasi birokrasi melalui perbaikan birokrasi di lini terdepan: lini pelayanan publik. Malpraktek birokrasi pelayanan publik tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Birokrasi harus memiliki mind-set (pola pikir) dan culture-set (budaya kerja) yang produktif, efisien dan efektif, transparan, dan akuntabel serta responsif dalam memberikan pelayanan publik. Dan, inilah alasan utama (raison d’ etre) lahirnya UU Pelayanan Publik.

Langkah Awal
Salama ini produk kebijakan di sektor pelayanan publik masih berada pada tingkat keputusan menteri, belum menjadi undang-undang. Padahal idealnya, pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah terhadap rakyat maka sudah seharusnya diurus secara serius dan bertanggung jawab. Pelayanan publik berikut standar pelaksanaannya hanya dipayungi oleh Keputusan MENPAN Nomor 63 tahun 2003 yang operasionalnya diserahkan kepada departemen, lembaga pemerintahan, serta pemerintah daerah.

Persoalannya masing-masing departemen/lembaga dan pemda belum memiliki kesadaran dan komitmen (good will dan political will) kolektif yang ‘memaksa’ mereka untuk memberikan layanan yang terbaik. Selain itu belum ada instrumen reward and punishment yang kuat serta memberikan efek jera.

Akibatnya, secara umum pelayanan publik di Indonesia belum menampakkan perbaikan yang berarti. Memang ada beberapa contoh baik (best practice) dalam pelayanan publik dari sejumlah daerah seperti Kota Sragen, Kabupaten Jembrana, atau Kota Tarakan, namun jumlahnya tidak seberapa dibanding contoh buruk (bad practice) birokrasi pelayanan kita.

UU Pelayanan Publik hadir untuk mengisi celah kekosongan aturan hukum yang bersifat nasional dalam rangka membangun kesadaran dan komitmen kolektif yang kuat, sistemik, dan komprehensif. Namun demikian, UU ini barulah langkah awal dari grand design reformasi birokrasi yang komponennya bukan hanya meliputi struktur tata aturan hukum tetapi juga kultur birokrasi, penegakan hukum (law enforcement) dan kemauan politik para pemimpin dan penyelenggara pelayanan publik.

Aturan dalam UU Pelayanan Publik yang baru disahkan memberikan optimisme bagi kita. Paling kurang UU ini memberikan satu dorongan (endorsement) yang kuat dan komprehensif terkait penyelenggaraan pelayanan publik dan berlaku nasional. UU ini memberikan panduan - baik bagi penyelenggara pelayanan publik maupun bagi masyarakat penerima pelayanan publik - tentang hak, kewajiban, etika, dan larangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

UU juga menjamin pemberian pelayanan (delivery service) yang professional, akuntabel, efektif, dan efisien. Sebaliknya memberikan sanksi yang tegas dan terukur atas pelanggaran dan/atau penyalahgunaan pelayanan publik. Jenis-jenis sanksi berupa teguran tertulis, penurunan gaji, penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian dari jababatan baik dengan hormat maupun tidak hormat sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Bagi instansi penyelenggara pelayanan publik bisa dikenakan sanksi pembekuan misi dan/atau izin hingga pencabutan izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah. Sebaliknya, bagi penerima layanan terdapat ketentuan mendapatkan ganti rugi jika terdapat kerugian sebagaimana diatur dalam UU ini. Diharapkan dengan sanksi tegas diatur tersebut dapat memberikan efek jera dan dorongan untuk senantiasa memperbaiki kualitas pelayanan.

Singkat kata, UU Pelayanan Publik telah memberikan panduan dan standar pelaksanaan pelayanan publik yang baik dan berkualitas. Namun sekali lagi keluarnya UU ini baru langkah awal dari proses reformasi birokrasi pelayanan publik. Langkah selanjutnya adalah komitmen para pemimpin, aparatur negara, dan pelaksana pelayanan publik untuk melaksanakannya secara konsekuen.

Baca Selengkapnya......

PERLU PRIORITAS ANGGARAN

Anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini justru gregetan mendengar permintaan Bawaslu menambah anggaran lagi. Dia menandaskan, pihaknya tidak akan mengabulkan permintaan tambahan anggaran lagi.
“DPR sudah mengabulkan permintaan anggaran dia (Bawaslu-Red). Memang, mereka minta dana Rp. 1 triuliun, namun yang kami setujui Rp. 572 Miliar yang kita sepakati itu saja. Katanya pada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Menurut politikus PKS ini, anggaran R. 572 Miliar yang telah disetujui itu merupakan anggaran yang dianggap penting. Bawaslu harus dapat melakukan pengelolaan dana dengan baik sesuai prioritas.
“Kalau bicara cukup, dana sebesar apapun juga tidak akan cukup,” katanya.
Jazuli justru heran dengan polah anggota Bawaslu. Dia bilang di tengah kekurangan dana, anggota Bawaslu malah ramai-ramai pergi ke luar negeri.
“Seharusnya mereka lebih mementingkan dana pengawasan dan diklat, “ imbuhnya.
Dia menanyakan, kenapa dari dana Rp. 572 Miliar, kenapa yang baru terealisasi hanya 17 persen. Ini menandakan kemampuan menyerap anggaran mereka sangat rendah. “Jadi tidak usah diberikan banyak-banyak.” Tukasnya.
Dia menandaskan, banyaknya anggota Panwaslu yang belum menerima gaji, bukan karena kekurangan anggaran melainkan, hanya persoalan teknis dalam pencairan, sebut dia, Bawaslu memang masih harus melakukan koordinasi dengan Depkeu. DIT

Sumber : Rakyat Merdeka, Edisi Rabu, 1 Juli 2009, Halaman 2, Rubrik Bongkar

Baca Selengkapnya......