Rakyat Merdeka
Senin, 2 Februari
Wacana penyatuan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) kembali mengemuka. Selain menekan biaya dan waktu, wacana ini dinilai bisa menghilangkan koalisi parpol untuk kepentingan semu dan pragmatis.
Walau memiliki keuntungan, wacana ini tetap menuai pro dan kontra lantaran menutup kran demokrasi yang selama ini terbuka. "Dari segi efisiensi dan efektivitas memang menguntungkan, teiapi dari segi demokrasi, harus ada proporsional atas proses demokrasi yang berjalan," ujar caleg DPR PDIP Dapil Jawa Barat XI, Maruarar Sirait kepada Rakyat Merdeka.
la mengatakan, jika dilihat dari undang-undang, hal ini tidak memungkinkan. Pria yang akrab disapa Ara ini juga menilai, jika wacana ini dilaksanakan, belum tentu bisa menghindari koalisi partai yang bersifat semu. Dikatakannya, koalisi parpol yang bersifat semu atau tidak tergantung parpolnya sendiri.
Hal senada dilontarkan caleg DPR Dapil Banten II yang diusung Partai Golkar, Dewi Yunus. la meniiai, jika pileg dan pilpres dilakukan secara bersamaan, maka akan terjadi over lapping. Selain. itu undang-undang pemilu juga harus diganti. "Kalau dilakukan secara serempak dalam satu hari sangat tidak mungkin, ini bisa berbahaya," kata Dewi kepada Rakyat Merdeka.
Dewi juga meniiai, dengan atau tanpa pemilu yang serempak, koalisi yang dilakukan partai merupakan bal yang semu demi kepentingan sesaat. Namun, katanya, hal ini haanya berlaku untuk partai-partai kecil dan baru. Sedangkan partai seperti Golkar
tidak akan melakukan koalisi bersifat semu, "Mereka (partai kecil, red) seperti kehilangan induk dan mencari pegangan untuk bisa maju ke legislatif. Bahkan partai baru yang namanya sering muncul di ikian pun belum memiliki pondasi yang kuat. Untuk mcndapat suara maksimal mereka harus berdiri piinjrpal 20 tahun," tambahnya.
Sementara itu, caleg DPR Dapil Banten III berbendera Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini berpendapat, keuntungan dari pelaksanaan pileg dan pilpres secara serempak memang ada pada sisi efisiensi waktu dan pendanaan. Tetapi, kerugian sistem ini adalah tertutupnya keran demokrasi.
la menilai, dengan pemilu serempak akan membuat masyarakat terkungkung. Partai yang tidak punya capres akan tersingkirkan, karena rakyat hanya memilih capres yang diusung partai.
Artinya, lanjut Jazuli, rakyat akan berpikir, buat apa pilih partai A yang tidak memiliki capres, lebih baik pilih partai B yang jelas-jelas punya capres.
"Semua ada untung dan ruginya, tapi jika pemilu dilakukan serempak dalam kondisi seperti sekarang, maka akan lebih banyak mudharat-nya. Jangan sampai heroik demokrasi jadi tidak terlihat lagi," ujaraya.
Sedangkan caleg DPR Dapil Jakarta II yang diusung Partai Persaruan Pembangunan (PPP), Lena Mariana Mukti mengatakan, partainya telah lama mewacanakan penyerempakan waktu peiaksanaan pileg dan pilpres.
Hal ini, ujarnya, ditujukkan agar masyarakat dapat mengetahui parpol dan capres yang didukungnya pada saat yang bersamaan. Dengan begitu, akan memperkuat sistem presidensil dan platform parpol dapat sesuai dengan capresnya.
"Semua partai harus punya capres. Tapi bukan berarri satu parpol satu capres. Tetapi misalnya, beberapa partai memiliki konsensus untuk mengusung satu tokoh," katanya.
Selain itu, lanjutnya, koalisi yang dibangun sebelum pileg akan menjadi koalisi utuh dan penuh komitmen. Dengan begitu, koalisi akan memiliki dasar yang kuat
Sebelumnya, anggota DPR, Slamet Effendi Yusuf menyatakan setuju jika pileg dan pilpres dilaksanakan secara serempak. "Berdasarkan original intent, perumusan waktu itu, pemilu itu ya harus serempak," kata politisi Golkar ini dalam dialog publik Haruskah Pemilu Serempak?,Jumat (30/1).
Sebaiknya, kata Slamet, Mah-kamah Konstitusi (MK) harus memutuskan pemilu secara se-rempak. Teknis peiaksanaan bisa disingkirkan. "Misalnya jadwal Pilpres diajukan separuh dan pemilihan DPR diajukan separuh," katanya.
Slamet menjelaskan, negars-negara yang menganut presidensil, rata-rata menganut sistem kepataian yang sederhana. Penyederhanaan itu, bisa dilakukan dengan menyerentakkan pemilu.
"Jika Pilpres dilaksanakan setelah Pileg, maka partai akan membuat hasil perolehan suara pada pemilu. Jadi, koalisi (dalam Pilpres, red) hanya untuk kepentingan pragmatis," ucapnya. • CR-RKO
'Biaya Demokrasi Lebih Murah Tapi Rawan Terjadi Koalisi Palsu
H. Jazuli Juwaini, MA, Rabu, 18 Februari 2009
Label:
Pemilu 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar