Media Indonesia
Rabu, 10 Desember 2008
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) dinilai tidak transparan mengumumkan proses tender pengadaan logistik pemilu. Akibatnya, sejumlah perusahaan bermasalah ikut tender dan berpotensi memenangi tender.
"Catatan penting bahwa Pakta Integritas yang telah ditandatangani telah diabaikan KPU itu sendiri. Janji Biro Logistik Sekretariat Jenderal KPU, mereka akan mengumumkan seluruh proses tender termasuk nama-nama perusahaan yang dinyatakan lolos prakualifikasi. Sampai sekarang itu belum dilakukan," kata Divisi Politik Anggaran Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Roy Salam di Jakarta, kemarin.
Seluruh proses pemilu, ujar Roy, seharusnya diumumkan ke publik untuk mewujudkan transparansi. "Ini prinsip dasar menjamin kualitas pemilu. Tapi, KPU justru tidak melibatkan publik padahal ini hajatan publik," kesal Roy.
Roy juga mempertanyakan penggunaan dana Rp82 miliar untuk kegiatan-kegiatan survei dan pemetaan perusahaan dan harga perkiraan sendiri (HPS) logistik pemilu oleh panitia.
Saat ini KPU menenderkan pengadaan surat-surat suara, tinta, formulir C dan D, dan daftar calon tetap (DCT).
Dalam daftar perusahaan lolos prakualifikasi, terdapat sejumlah perusahaan yang ditengarai bermasalah. Antara lain PT Sigma Utama, PT Kilang Ikrar Persada, dan PT Intimas.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Jazuli Juwaini menilai masuknya perusahaan bermasalah pada prakualifikasi tender pengadaan logistik menunjukkan KPU kurang sensitif terhadap masukan-masukan masyarakat.
Kepala Biro Logistik Sekretariat Jenderal KPU Dalail mengakui penelitian administrasi dan lapangan atas perusahaan rekanan yang mendaftar telah rampung.
"Kami belum mengumumkan perusahaan-perusahaan yang dinyatakan lolos prakualifikasi. Kami memang sudah menyelesaikan penelitian administrasi dan penelitian lapangan," kilah Dalil.
Dalail malah bertanya balik ke wartawan. "Sekarang ya seharusnya diumumkan perusahaan yang lolos prakualifikasi? Saya malah nggak tahu," ujarnya.
Terkait dengan rencana lelang sisa kertas suara Pemilu 2004, Dalail menyebutkan harga jual lelang tersebut akan melebihi sewa gudang PT Leces dan PT Surabaya Agung.
Saat ini, biaya sewa penyimpanan kertas tersebut mencapai Rp15 miliar. "Sekarang kami meminta ke Departemen Keuangan, apakah wajar sewa Rp15 miliar? Kalau hanya Rp10 miliar, berarti tahun ini bisa dilunasi. Tapi kalau di atas Rp10 miliar, biaya itu harus kami usulkan lagi pada APBN 2009," tambahnya. (KN/P-3)
Perusahaan Bermasalah Bisa Menang
H. Jazuli Juwaini, MA, Kamis, 29 Januari 2009KPU, Sensitif Dong!
H. Jazuli Juwaini, MA,Rakyat Merdeka
Rabu, 10 Desember
ANGGOTA Komisi II DPR dari Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengakui masuknya tiga perusahaan bermasalah.
Dia menyayangkan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah meloloskan tiga perusahaan bermasalah dalam tender logisitk Pemilu 2009.
Padahal, ketiganya sudah diidentifikasi perusahaan bermasalah karena tidak becus dalam pengadaan alat dan logistik Pemilu 2004 lalu. Lolosnya perusahaan itu, kata Jazuli, bisa memicu adanya kondisi yang tidak beres dengan KPU.
''Lolosnya tiga perusahaan yang ikut tender logistik menandakan KPU kurang sensitif terhadap masukan-masukan masyarakat sekaligus tidak hati-hati dan waspada terhadap persoalan yang bisa muncul,'' jelas Jazuli kepada Rakyat Merdeka kemarin.
Hanya, politisi PKS ini, tidak menyebut ketiga perusahaan yang dia anggap bermasalah itu. Menurutnya, tidak ada alasan bagi KPU untuk meloloskan perusahaan-perusahaan tersebut walaupun dengan alasan transparansi dan keterbukaan.
''Sudah jelas-jelas bermasalah tahun 2004 kok masih diloloskan atas nama keterbukaan. Ini bisa gawat, kalau tetap meloloskannya. Seharusnya KPU bisa bedakan antara keterbukaan atau transparansi dengan kehati-hatian,'' katanya.
Menanggapi pernyataan itu, anggota KPU I Gusti Putu Artha menyatakan terlepas dari persoalan tersebut, siapapun perusahaan berhak ikut dalam proses tender logistik yang dilakukan oleh KPU. ''Itukan sebelum bisa dinyatakan pemenang, nanti akan diverifikasi. Lagipula KPU sedang turun ke lapangan perusahaan-perusahaan (yang lolos administrasi, red) untuk diverifikasi sebelum keputusan pemenang diambil,'' ucapnya saat dihubungi kemarin.
Menurut Putu, langkah meloloskan perusahaan tersebut karena KPU tidak mungkin menghalangi hak tiap warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam tender logistik KPU. ''Kesannya tidak boleh dipotong,'' kilahnya.
Bahkan pria kelahiran Bali ini menantang agar perusahaan-perusahaan yang memang bermasalah dalam tender untuk disebutkan nama perusahaannya. Dengan demikian, akan jadi pembelajaran ke depan menciptakan iklim kondusif yang jauh dari proses KKN.
''Sebut saja di koran, biar jadi pembelajaran agar Kesetjenan (KPU) tidak main-main dalam proses tender logistik ini,'' tegasnya. Sementara, anggota KPU Bidang Logistik Abdul Aziz tidak tahu adanya perusahaan bermasalah yang berhasil lolos administrasi.
Dia tidak bisa memungkiri kalau perusahaan bermasalah itu bisa lolos dalam proses administrasi. ''Belum tahu saya, belum ada pengumuman pemenang tender. Kalau memasukkan berkas sih mungkin saja tapi belum tentu menang,'' ujarnya.
Perlu diketahui, hingga penutupan pendaftaran perusahaan peserta tender yang berakhir pada Rabu (19/11) lalu, KPU mencatat 27 perusahaan untuk pengadaan surat suara, 47 perusahaan untuk pengadaan formulir rekapitulasi penghitungan, 16 perusahaan untuk pengadaan daftar calon tetap (DCT) dan sebanyak 13 perusahaan untuk pengadaan tinta.
Logistik pemilu yang ditenderkan ialah 693,4 juta lembar surat suara dengan pagu anggaran Rp 866,7 miliar, pengadaan 1.24 juta botol tinta dengan pagu anggaran Rp 5 miliar, pengadaan DCT dengan pagu anggaran Rp4.5 miliar, dan pengadaan formulir C dan D untuk DPR dan DPD dengan pagu anggaran Rp15 miliar. kal
KPU Beralasan tidak Ada Dana Bentuk Dewan Kehormatan
H. Jazuli Juwaini, MA,Media Indonesia
Rabu, 3 Desember 2008
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) mengaku kesulitan membentuk dewan kehormatan karena tidak memiliki anggaran.
Namun, KPU tetap akan mempertimbangkan perlunya dibentuk lembaga itu untuk menangani sejumlah pelanggaran pemilu dan kode etik.
Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menyampaikan hal itu, di Jakarta, kemarin.
"Segera diplenokan pembentukan dewan kehormatan. Tergantung kasusnya, yang perlu kami bentuk dewan kehormatannya," cetus Hafiz.
Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), DPR meminta KPU dan Bawaslu untuk segera membentuk dewan kehormatan, jika ditemukan adanya dugaan pelanggaran kode etik.
"Ini dalam rangka menegakkan kode etik penyelenggara pemilu dan menjaga kemandirian, integritas, dan profesionalisme KPU dan Bawaslu," tegas Ketua Komisi II DPR EE Mangindaan saat membacakan kesimpulan rapat kemarin.
Anggota Komisi II DPR Jazuli Juwaini (F-PKS) dalam rapat yang membahas tentang persiapan penyelenggaraan Pemilu 2009 itu, juga mempertanyakan waktu pembentukan dewan kehormatan.
Menurut dia, seharusnya dewan kehormatan segera dibentuk sehingga dapat melakukan fungsi kontrol terhadap perilaku anggota KPU.
"Kenapa belum juga dibentuk? Apa sebenarnya kesulitan KPU," katanya.
Pada kesempatan itu, Hafiz mengaku tidak memiliki anggaran untuk pembentukan dewan kehormatan.
''Tidak ada dalam anggaran 2008. Tidak mungkin dewan kehormatan dibentuk kalau tidak ada anggarannya," tegasnya.
Dia menyebutkan dewan kehormatan yang berjumlah lima orang terdiri dari tiga orang anggota KPU, serta dua orang tokoh dari luar itu memerlukan biaya.
"Syarat dewan kehormatan yang dari luar itu kan harus tokoh. Kalau tokoh diminta jadi dewan kehormatan kan butuh biaya. Tapi kalau ada yang mau sukarela boleh-boleh saja," cetusnya.
Karena itulah, kata Hafiz, perlu dipertimbangkan kepentingan riil untuk membentuk lembaga itu.
Dia beralasan dewan itu perlu dibentuk jika ada kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini menilai pernyataan Hafiz bahwa KPU tidak memiliki anggaran untuk pembentukan dewan kehormatan tidak masuk akal.
Hidayat menyebut pernyataan itu terkait sikap KPU yang tidak memprioritaskan masalah itu.
"Menunjukkan KPU tidak menganggap penanganan pelanggaran pemilu sebagai skala prioritas. Dewan kehormatan itu untuk menangani pelanggaran pemilu dan pelanggaran kode etik yang semata-mata untuk menjaga kemandirian, integritas, dan profesionalisme KPU," katanya.
Karena di sisi lain, kata Hidayat, justru KPU menyediakan anggaran perjalanan dinas ke luar kota maupun ke luar negeri yang cukup besar.
"Sebenarnya, kalau KPU peduli pelaksanaan pemilu yang berkualitas, dana perjalanan dinas itu bisa digunakan untuk pembentukan dewan kehormatan," kata Hidayat.
Hal senada ditegaskan Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Nafis Gumay, bahwa masalah anggaran tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak membentuk dewan kehormatan.
"KPU harus mencari jalan ke luar. Pemerintah harus bantu. Jangan disengaja membuat alasan tidak ada anggaran untuk menghindar.''
Dia mengingatkan, bila pembentukan dewan kehormatan tidak dilakukan, KPU dapat dikenai sanksi pidana.
Anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo menambahkan, bahwa pihaknya juga pernah mengusulkan agar dua orang dari lima anggota dewan kehormatan tersebut berasal dari anggota Bawaslu. Sehingga, tidak ada lagi alasan biaya. Tapi, usul tersebut ditolak KPU.
"KPU tidak setuju kalau anggota dewan kehormatan ada dari Bawaslu. Padahal kalau dewan kehormatan Bawaslu, itu ada anggotanya dari KPU. Kalau alasannya biaya atau honor dewan kehormatan silakan saja dimasukkan anggota Bawaslu jadi anggota dewan kehormatan," tegasnya. (P-2)
Pemborosan, Pengadaan Tanpa Audit Aset
H. Jazuli Juwaini, MA,Kompas
Sabtu, 22 November 2008
Pengadaan barang dan jasa Pemilu 2009 yang dilakukan tanpa audit aset yang dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum akan berpotensi pemborosan dan korupsi.
Hal itu disampaikan Koordinator Divisi Anggaran Politik Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Arif Nur Alam dalam diskusi di KPU, Jumat (21/11). Hadir pula sebagai pembicara anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Jazuli Juwaini.
”Ketika KPU langsung mengadakan lelang logistik pemilu tanpa didahului audit aset, besar kemungkinan akan terjadi pemborosan dan korupsi. Misalnya saja, pengadaan mesin printer di KPU, apakah memang printer sudah tidak bisa dipakai lagi karena rusak, hilang, atau apa, ini harus diketahui terlebih dahulu,” ujar Arif.
Selain itu, lanjut Arif, KPU juga tidak melakukan audit rekanan bermasalah dari pengadaan logistik Pemilu 2004. ”KPU malah proaktif mengundang mereka. Ini juga akan berpotensi menimbulkan masalah pada kemudian hari,” ungkapnya.
Jazuli Juwaini mendukung adanya efisiensi dalam pengadaan logistik pemilu. Ia juga mengatakan, untuk pengadaan surat suara mutlak dilakukan, tetapi untuk kotak suara dan bilik suara, seharusnya KPU tidak perlu mengadakan lagi.
”Banyak daerah yang baru saja menggelar pilkada, tentu kedua barang itu masih ada. Ironis kalau bulan ini menyelenggarakan pilkada, April mendatang, kotak dan bilik suara sudah tidak ada,” kata dia.
Mulai aneh
Secara terpisah, Koordinator Tim Pemantau Logistik KPU Indonesia Procurement Watch (IPW) Hayie Muhammad mengatakan, proses pengadaan logistik pemilu di KPU mulai terasa aneh dengan kebijakan KPU untuk merahasiakan peserta tender logistik pemilu.
”Belum pernah terjadi dalam sejarah pengadaan di Indonesia bahwa suatu instansi pemerintah merahasiakan nama-nama perusahaan yang mengikuti pelelangan,” ungkapnya.
Menurut Hayie, kebijakan KPU untuk merahasiakan nama-nama perusahaan peserta lelang bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mengharuskan mengumumkan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah secara terbuka melalui surat kabar. (SIE)
Sikap Tertutup KPU Potensial Munculkan Korupsi
H. Jazuli Juwaini, MA,Media Indonesia
Sabtu, 22 November 2008
SIKAP Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang cenderung menutupi nama perusahaan peserta tender pengadaan logistik pemilu berpotensi memunculkan penyelewengan dan korupsi seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya.
"Sikap tertutup bisa menjadi celah munculnya korupsi. Kita curiga jangan-jangan KPU tidak mampu melaksanakan pengadaan barang dan jasa (logistik) yang bersih dari korupsi," kata Koordinator Divisi Politik Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Arif Nur Alam di Jakarta, kemarin, dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Wartawan Pemilu.
Pembicara lain yang hadir dalam diskusi tersebut yakni anggota Komisi II DPR dari F-PKS Jazuli Juwaini. Namun, pembicara dari KPU berhalangan hadir.
Menurut Arif, KPU seharusnya memublikasikan seluruh proses pengadaan logistik, termasuk persoalan dan kendala yang dihadapi selama proses itu berlangsung. "Sekarang kita tidak tahu apa persoalan yang dihadapi KPU sehingga tidak mau mengumumkan daftar perusahaan peserta tender," ujarnya.
Arif mengungkapkan modus korupsi bisa bermacam-macam. Bahkan, ada korupsi yang dilakukan melalui sebuah proses perencanaan yang sistematis. "Tidak membuka proses tender bisa dicurigai sebagai sebuah perencanaan yang koruptif. Ini harus diantisipasi," tegas Arif.
Jazuli Juwaini menambahkan, KPU mestinya menjadi contoh bagi partai-partai peserta pemilu tentang keterbukaan dalam segala hal. "Sikap tertutup itu jelas memperlihatkan bahwa KPU melanggar asas transparansi. Proses tender itu bukan rahasia negara. Seharusnya KPU tidak menyembunyikannya," tutur Jazuli.
Ia heran melihat kekakuan dan ketertutupan KPU soal proses pengadaan logistik pemilu. "Saya heran kenapa sampai seperti itu. Padahal DPR sudah berkali-kali mengingatkan agar KPU memublikasikan seluruh proses tender."
Sementara itu, Koordinator Tim Pemantau Logistik Indonesia Procurement Watch (IPW) KPU, Hayie Muhammad, menilai proses pengadaan logistik oleh KPU tidak wajar.
"Merahasiakan nama-nama perusahaan dengan alasan takut disalahgunakan pihak tertentu belum pernah terjadi dalam sejarah pengadaan barang dan jasa selama ini," tukasnya.
Hayie mengatakan upaya merahasiakan nama-nama perusahaan peserta lelang bertentangan dengan Peraturan Presiden No 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 4 huruf h dan i menyatakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah harus dilakukan secara terbuka melalui media massa (surat kabar).
"Jadi alasan-alasan yang dikemukakan oleh KPU itu terasa janggal dan aneh. Pengumuman peserta lelang justru untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan kontrol masyarakat terhadap kejujuran atau performa perusahaan peserta lelang."
Saat menanggapi kritikan tersebut, Sekjen KPU, Suripto Bambang Setyadi mengatakan pihaknya tidak mengumumkan nama-nama perusahaan peserta tender setelah berkonsultasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP).
"Kami sudah konsultasi dengan LKPP. Katanya, tidak menjadi masalah bila nama-nama perusahaan tidak dipublikasikan," ujarnya. (KN/P-6)
Dewan Tolak Perpanjangan Anggaran KPU
H. Jazuli Juwaini, MA,Koran Tempo
Sabtu, 22 November 2008
JAKARTA -- Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat menegaskan anggaran Komisi Pemilihan Umum pada 2008 tak bisa dilanjutkan ke 2009. Sebab, menurut anggota Komisi Pemerintahan yang juga anggota Panitia Anggaran DPR, Jazuli Juwaini, tak ada landasan hukum untuk melanjutkan anggaran tersebut. "Sistem anggaran dari Januari sampai Desember. Tidak bisa dilanjutkan ke Januari lagi," kata Jazuli di kantor Komisi Pemilihan,kemarin.
Menurut Jazuli, anggaran hanya bisa dilanjutkan jika menggunakan sistem multi-years. Sistem ini biasa digunakan untuk proyek infrastruktur yang tak bisa selesai dalam satu tahun. Tapi, kata dia, anggaran di Komisi Pemilihan tak menggunakan sistem ini.
Kepala Biro Logistik Komisi Pemilihan Dalail sebelumnya mengatakan lembaganya akan meminta Departemen Keuangan melimpahkan sebagian anggaran 2008 ke anggaran 2009. Alasannya, ada sejumlah proses tender yang pembayarannya baru bisa dilaksanakan pada 2009.
Jazuli mengatakan tidak terserapnya anggaran merupakan kesalahan Komisi Pemilihan. "Percuma minta uang banyak kalau tak bisa menyelesaikan pekerjaan," ujar politikus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini.
Hal senada ditegaskan Ignatius Mulyono, anggota Komisi Pemerintahan DPR lainnya. Menurut dia, sisa anggaran 2008 yang belum digunakan harus dikembalikan ke kas negara. "Komisi Pemilihan harus mengubah lagi perencanaan anggaran 2009," ujar Ignatius.
Ketua Komisi Pemilihan Abdul Hafiz Anshary menuturkan kondisi itu memberatkan lembaganya. Sebab, Komisi harus membayar biaya pengadaan logistik 2008 dengan anggaran 2009. Padahal Komisi tak mengalokasikan dana pengadaan logistik untuk keperluan pemilihan anggota legislatif. “Dari anggaran 2009 sebesar Rp 13,5 triliun, Rp 10,3 triliun untuk biaya honor petugas lapangan. Sisanya untuk pengadaan logistik pemilihan presiden,” kata dia. Hafiz mengatakan akan bertemu Menteri Keuangan untuk membicarakan hal ini. PRAMONO
KPU Tunggu Kepastian Bantuan Distribusi
H. Jazuli Juwaini, MA,KOMPAS
Jumat, 14 November 2008
Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum akan menunggu kepastian bantuan pemerintah untuk distribusi logistik sampai dengan akhir bulan November. Adanya kepastian dari pemerintah akan memengaruhi proses-proses tahapan pemilu selanjutnya.
Anggota KPU, Andi Nurpati, Kamis (13/11), mengatakan, mulai bulan Januari, KPU sudah harus bergerak untuk pengadaan logistik pemilu yang dilanjutkan dengan distribusi. Dengan demikian, harus ada kepastian mengenai distribusi logistik dari KPU kabupaten/kota sampai ke tempat pemungutan suara.
Bila sampai akhir November pemerintah tidak memberikan kepastian, kata Andi, ada dua pilihan yang akan bisa dilakukan KPU, yaitu mencari anggaran distribusi logistik dari mata anggaran pemilu lainnya. ”Atau, apakah KPU akan bertemu dengan Presiden untuk menyampaikan masalah distribusi logistik ini. Opsi ini akan saya usulkan dalam rapat pleno akhir bulan,” kata Andi.
Pada Pemilu 2004, KPU dibantu oleh pemerintah daerah untuk distribusi logistik. Itu sebabnya, untuk Pemilu 2009, KPU tidak menganggarkan distribusi logistik.
Andi sebelumnya mengatakan, KPU sudah mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri mengenai permintaan bantuan distribusi logistik, bantuan personel sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara. Namun, hingga kini surat KPU belum dibalas.
”Pemilu bukan hanya hajatan KPU, tetapi hajatan pemerintah untuk memilih wakil rakyat dan presiden. Kami ini kan hanya sebagai penyelenggara,” kata Andi lebih lanjut.
Juru Bicara Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang mengatakan, Departemen Dalam Negeri masih mempelajari permintaan KPU. ”Jangan sampai nanti ada tumpang tindih anggaran, dan juga kami tidak mau terkesan mencampuri tanggung jawab KPU. Sesuai dengan peraturan, distribusi logistik merupakan tanggung jawab KPU,” katanya.
Hanya darurat
Mantan Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu Jazuli Juwaini (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), Kamis, mengatakan, KPU harus mengupayakan sendiri pendistribusian logistik Pemilu 2009. KPU baru bisa minta bantuan kepada institusi lain kalau kondisinya benar-benar darurat.
Ketentuan perundang-undangan memungkinkan KPU bekerja sama dan memperoleh bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk mendukung suksesnya pelaksanaan pemilu. Pemerintah dan pemerintah daerah pun tentu berkepentingan untuk menyukseskan pemilu. Hanya saja, KPU tidak bisa mengalihkan tanggung jawab distribusi logistik kepada institusi lain.
Menurut Jazuli, yang terpenting saat ini KPU menyusun perencanaan yang matang. Sejak awal harus dipetakan permasalahan lapangan berikut alternatif solusinya. Jika waktunya memang tidak memadai untuk menjangkau seluruh wilayah, KPU bisa meminta bantuan institusi lain. (SIE/DIK)
Tender Logistik KPU Harus Terbuka
H. Jazuli Juwaini, MA,KOMPAS
Rabu, 5 November 2008
Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum atau KPU diminta terbuka dalam semua proses tender logistik Pemilu 2009. Dengan proses yang terbuka, masyarakat diharapkan bisa memberikan masukan kepada KPU, terutama terkait kredibilitas perusahaan yang akan menjadi rekanan KPU.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, Selasa (4/11).
Menurut Yuna, KPU harus transparan sehingga masyarakat mengetahui semua rincian penggunaan dana pemilu.
KPU sudah memulai proses tender logistik Pemilu 2009. Salah satu tender yang sudah diumumkan di media massa adalah pengadaan kendaraan bermotor roda empat dan roda dua senilai Rp 2,42 miliar, Selasa.
Kepala Biro Logistik KPU Dalail mengatakan akan mengumumkan tiga tender pengadaan logistik pemilu, yaitu mobil dan sepeda motor, tinta pemilu senilai Rp 37,7 miliar, serta jaringan TI senilai Rp 9 miliar.
Yuna meminta verifikasi perusahaan yang akan mengikuti tender logistik harus dilakukan sungguh-sungguh oleh KPU.
”Jangan sampai kasus Pemilu 2004 terulang lagi. Dulu kami pernah mengecek perusahaan yang mengikuti tender pengadaan segel, ketika kami datangi alamatnya ternyata sebuah salon. Tetapi, KPU tetap saja mengikutkan perusahaan itu dalam tender,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Ida Fauziyah (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur VIII) dan anggota Panitia Anggaran, Jazuli Juwaini (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Banten II), secara terpisah meminta KPU tetap menggunakan anggaran Pemilu 2009 secara efisien. Sejak awal harus diidentifikasi anggaran yang bisa dipangkas, termasuk dengan memelihara aset yang telah digunakan pada pemilu anggota lembaga legislatif.
Seperti diberitakan, KPU menyiapkan anggaran sebesar Rp 9,07 triliun untuk penyelenggaraan dua putaran pemilu presiden-wakil presiden. Anggaran tersebut merupakan bagian dari dana APBN 2009 sebesar Rp 13,5 triliun.
Jazuli menekankan, kebutuhan riil KPU tetap harus dilihat lagi. Kebutuhan dana untuk pemilu presiden mestinya bisa ditekan. ”Aset KPU yang digunakan dalam pemilu legislatif bisa dipergunakan lagi dalam pemilu presiden,” katanya. (sie/dik)
“Masuk Angin” yang Bikin Bludrek
H. Jazuli Juwaini, MA,Indonesia Monitor
30 Oktober 2008
Disinyalir “masuk angin” gara-gara melempem setelah sebelumnya menggebu-gebu mengurai benang kusut tanah Kedubes Arab Saudi, beberapa anggota DPR meradang. “Itu fitnah!”
Jazuli Juwaini tak bisa menyembunyikan kegeramannya ketika mencuat sinyalemen beberapa anggota Komisi II DPR ikut kecipratan uang damai sengketa tanah Kedubes Arab Saudi. Sebagai Ketua Tim Panja Pertanahan, ia tahu persis jika pimpinan dan anggota Komisi II bersih dari dugaan tersebut.
“Terus terang saya kena dampaknya dari kasus ini. Masak Tim Panja Pertanahan yang saya pimpin dibilang ‘masuk angin’ karena telah terima duit. Itu semua tidak betul. Kalau ada anggota DPR terima duit sebutkan saja,” ujar anggota Fraksi PKS itu kepada Indonesia Monitor, usai rapat kerja dengan Bogasari di Senayan, Senin (20/10).
Timnya, kata Jazuli, justru ingin membongkar ada apa di balik kasus tersebut sehingga sampai ada perintah Wapres kepada Bogasari untuk menyelesaikan pembayaran. “Kok baik hati sekali Bogasari mau membayar uang ganti rugi tersebut. Selain itu, DPR meminta adanya kronologis kasus ini, secara utuh,” tandas mantan cabup Tangerang itu.
Jazuli mengaku saat ini timnya justru sangat serius untuk menangani kasus ini agar tidak ada rakyat yang dirugikan dengan alasan menjaga nama baik negara. Makanya, ia begitu gerah ketika dituding “masuk angin”. “Buktinya apa kalau kita ‘masuk angin’? Wong kita lagi telusuri kok. Siapa orang yang mengatakan itu, kita ingin tahu. Jangan lempar batu sembunyi tangan,” ujar Jazuli kepada Indonesia Monitor, Sabtu (18/10) sebelumnya.
Soal dirinya dan Ketua Komisi II DPR E Mangindaan yang mendatangi kantor BPN, Jazuli yang semula tidak mau mengakui akhirnya menjelaskan jika pertemuan tersebut resmi atas nama Komisi II yang diwakili Ketua Komisi dan Tim Pertanahan. “Pertemuan itu untuk mempertanyakan soal pengukuran tanah di Lampung dan kasus lain, terma-suk kasus tanah Kedubes Arab,” ungkapnya.
Ketua Komisi II DPR E Mangindaan juga membantah tudingan ada aliran dana yang jatuh ke tangan anggota DPR dalam kasus ini. “Ndak ada itu. Siapa bilang, saya ndak ngerti uang dari mana. Sorry saja saya bilang. Saya tidak tahu-menahu sama sekali. Maaf ya, tolong jangan sampai saya difitnah ya dalam soal-soal begini, karena saya tidak pernah mau melibatkan diri dalam soal-soal demikian. Sebab, setahu saya, mana hukum yang berjalan, itu yang saya ikuti,” ujar anggota DPR Fraksi Partai Demokrat itu kepada Indonesia Monitor, Senin (20/10).
Mangindaan juga mengklarifikasi soal berhentinya Samino sebagai staf ahli Komisi II DPR. “Dia pensiunan, baru kita tarik, lantas kita tes lagi, ternyata hasil tesnya membuat teman-teman memilih yang lain. Dia jawab ‘oke’, katanya biar dikasih yang muda. Ndak ada kaitannya dengan itu kok. Siapa yang cerita. Ngarang itu. Selaku ketua, saya yang menentukan itu karena memang hasilnya begitu. Kita kan tes juga calon-calon yang diberikan Sekjen,” ungkapnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR Idrus Marham yang disebut-sebut ikut “masuk angin” juga menolak tudingan itu. “Waduh, gimana ya, saya tidak tahu-menahu soal itu. Tapi, siapa saja yang menyalahgunakan kekuasaan harus ditangkap. Kalau memang benar (indikasi) itu hanya akan menambah daftar hitam DPR,” ujar anggota FPG DPR itu kepada Indonesia Monitor, Senin (20/10).
Menurutnya, DPR ikut menangani kasus tersebut karena menerima laporan dari masyarakat. “DPR kan harus aspiratif. Tapi apakah aspirasi itu benar atau tidak kan juga selektif. Masalah tanah kan banyak juga. Kalau memang ada orang menerima uang, itu saja yang ditelusuri. Nggak susah-susah. Tinggal ditelusuri siapa saja yang terlibat, itu saja. Orang yang ngomong itu jangan berdasarkan indikasi, langsung saja ke polisi, kan gampang,” paparnya.
Dia juga mengaku tidak tahu jika pihak Setwapres ikut terlibat dalam penyelesaian kasus sengketa tanah tersebut. “Kalau ada pihak dari Sekretariat Wapres terlibat, saya ndak ngerti. Ngapain JK turut campur. JK nggak mau campur tangan soal itu,” akunya.
Sekretaris Bidang Hukum dan HAM DPP Partai Golkar Rudy Alfonso berpendapat, jika benar ada campur tangan dari Setwapres sebaiknya disikapi secara bijaksana dan obyektif. “Sebagai pemimpin bangsa, beliau (JK) hanya ingin menyelesaikan masalah kasus ini sesuai dengan hukum, khususnya menyangkut nama baik bangsa Indonesia di mata negara sahabat,” ujarnya kepada Indonesia Monitor, Senin (13/10).
Sekjen Apeksi/Adeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia/Asosi-asi Dewan Kota dan Kabu-paten Seluruh Indonesia) itu menambahkan, dalam kasus ini nama baik bangsa dipertaruhkan. “Sebagai pemimpin bangsa, Pak Wapres telah melakukan hal yang benar. Kalaupun masalah tuduhan beliau terlibat dalam hal ini, saya meragukan. Saya mengeta-hui betul kredibilitas beliau, termasuk ketegasan dalam menjunjung hukum. Jadi, polemik ini jangan diperlebar,” tegas Rudy.
Mengenai adanya opini yang tercipta di masyara-kat bahwa orang-orang Golkar terlibat dalam me-muluskan keluarnya surat Setwapres dan menerima imbalan dalam kasus ini, Rudy yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari wilayah Sulawesi Barat itu menegaskan bahwa kemungkinan itu sa-ngat kecil.
Semoga saja DPR nggak kena bludrek (hipertensi).
Tangerang Selatan Disahkan
H. Jazuli Juwaini, MA,Seputar Indonesia
30 Oktober 2008
TANGERANG(SINDO) – DPR kemarin mengesahkan Kota Tangerang Selatan sebagai daerah otonom baru.Kota Tangerang Selatan disahkan bersama 11 daerah lainnya. Anggota DPR dari Komisi II Jazuli Juwani mengatakan, Kota Tangerang Selatan memang paling siap dalam segala hal.
Menurutnya, pembentukan Kota Tangerang Selatan karena ada kesenjangan dan ketimpangan pembangunan di daerah tersebut. ”Contohnya, biaya sekolah yang sangat tinggi di sana. Terlebih jika masyarakat akan mengurus segala keperluannya terkait izin dan dokumen lainnya, sangat jauh dari wilayah itu.
Padahal, daerah ini bernilai ekonomis. Untungnya di sana banyak pengembang bagus, seperti Bintaro dan BSD, sehingga jalan sedikit lebih baik,” kata Jazuli seusai pengesahan Kota Tangerang Selatan kemarin. Dengan pengesahan itu, paling lambat selama enam bulan ke depan akan dibentuk pemerintahan Kota Tangerang Selatan.
Ditanya siapa yang akan duduk menjadi wali kota dan pejabat lainnya, Jazuli menyebutkan berdasarkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, mereka akan direkomendasikan Bupati Tangerang dan diusulkan Gubernur Banten, yang kemudian ditetapkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Berbeda dengan wilayah otonom lainnya,Kota Tangerang Selatan nantinya akan dijabat Pjs Wali Kota dengan waktu yang cukup lama, yakni dua tahun. Hal ini terkait adanya Pemilu 2009. ”Biasanya kan hanya setahun, ini dua tahun bahkan bisa diperpanjang lagi,”tuturnya.
Ditanya soal nama resmi kota itu, Jazuli mengatakan, sesuai dengan letaknya maka nama kota otonom baru itu bernama Kota Tangerang Selatan. Menurut Jazuli, pengesahan Kota Tangerang Selatan kemarin siang selain dihadiri anggota DPR Komisi II, juga dihadiri Mendagri Mardiyanto, Menkumham Andi Mattalatta, serta sejumlah warga Kabupaten Tangerang, termasuk Bupati Tangerang Ismet Iskandar.
Asisten Daerah I (Bidang Pemerintahan dan Kesra) Kabupaten Tangerang Mas Imam Kusnandar yang disebut- sebut sebagai Pjs Wali Kota Tangerang Selatan, mengaku belum mendapat informasi dari Bupati Ismet Iskandar. ”Belum, saya belum terima bocoran itu, kok,” ucapnya ketika dihubungi SINDO.
Dirinya menjelaskan, bupati hanya meminta Pemkab Tangerang menyiapkan segala keperluan untuk Kota Tangerang Selatan yang disingkat PPPD (P3D). P pertama adalah persiapan Personel, termasuk di dalamnya para pejabat sementara. P yang kedua, Penganggaran, yang sudah disiapkan selama dua tahun, termasuk dana pilkada sebesar Rp48 miliar.
P yang ketiga adalah Peralatan, seperti kantor-kantornya yang sudah disiapkan di bekas kantor Kecamatan Ciputat, dan D-nya adalah Dokumen mengenai aset-aset yang dimiliki. ”Semua sudah selesai kita persiapkan,” ujarnya. Lokasi pusat pemerintahan kota itu adalah Kelurahan Maruga, yang merupakan bekas Kantor Kawedanaan Ciputat dan dipakai sebagai kantor Kecamatan Ciputat.
Kota Tangerang Selatan meliputi tujuh kecamatan, yang terdiri atas lima kecamatan hasil pemekaran. Kedelapan kecamatan itu adalah Ciputat Timur, Ciputat, Setu, Serpong Utara, Serpong, Pondok Aren dan Pamulang.Adapun jumlah penduduknya lebih dari 1 juta jiwa. (denny irawan)
Penetapan DPT Tidak Sah
H. Jazuli Juwaini, MA,Kompas
Senin, 27 Oktober 2008
Jakarta, Kompas - Penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum pada Jumat (24/10) malam tidak sah. Alasannya, penetapan tidak menyertakan jumlah pemilih di Provinsi Papua Barat dan luar negeri.
Penetapan daftar pemilih tetap (DPT) harus merupakan keseluruhan total pemilih di seluruh wilayah Indonesia.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray Rangkuti di Jakarta, Minggu kemarin, menyebutkan, yang dilakukan KPU pada pekan lalu hanyalah lanjutan ”kelucuan” KPU dalam mempersiapkan Pemilu 2009.
Jika faktanya baru November seluruh data pemilih terkumpul, mestinya KPU mengumumkan pengunduran jadwal penetapan DPT, bukan malah menetapkan berdasarkan data yang tidak sempurna. ”Sayangnya, pada tanggal berapa pastinya November itu? KPU pun tak punya kepastian, semua masih serba mengambang,” ujar Ray.
Seperti diberitakan, pada Jumat malam lalu KPU menetapkan jumlah pemilih dalam negeri Pemilu 2009 sebanyak 170.022.239 orang. Namun, data itu belum menyertakan DPT dari Papua Barat dan luar negeri yang rencananya baru ditetapkan 20 November mendatang.
Atas langkah KPU tersebut, Ray berharap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera bertindak. Bawaslu mesti meneliti ulang keseluruhan data pemilih dari seluruh Indonesia itu.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Banten II), berpandangan memang lebih baik jika KPU menunggu keseluruhan data lengkap sebelum menetapkan dan mengumumkannya. Pemutakhiran data pemilih merupakan kewajiban KPU. ”(Dalam pembahasan undang- undang), ketika mau diberikan ke Depdagri, mereka (KPU) juga meminta,” ujar Jazuli.
Sikap Bawaslu
Sementara itu, Bawaslu mendesak KPU segera menyelesaikan DPT sehingga bisa menjadi dasar penetapan pengadaan logistik pemilu.
Anggota Bawaslu, Bambang Eka Cahya Widada, Minggu, mengingatkan seharusnya DPT yang diumumkan KPU sudah mencakup semua provinsi dan luar negeri. ”Kalau belum lengkap, daftar pemilih yang sudah diumumkan itu bukan daftar pemilih tetap,” ujarnya.
Bambang melanjutkan, Bawaslu mengingatkan KPU akan adanya masalah serius dalam penyiapan pengadaan logistik bila KPU tidak segera menyelesaikan DPT dengan memberikan jumlah pemilih yang tetap.
”Kami akan tetap mengatakan bahwa itu melanggar aturan. Harus ada upaya khusus dari KPU agar penyelesaian daftar pemilih di Papua Barat bisa segera dilakukan. Begitu pula dengan pemilih di luar negeri yang memang sulit didata,” katanya.
Menurut Bambang, bila jumlah pemilih tidak segera ada kepastian, hal itu akan berdampak terhadap pengadaan logistik pemilu, terutama surat suara.(dik/SIE)
Bermasalah karena Pengawasan Lemah
H. Jazuli Juwaini, MA,Kompas
Rabu, 22 Oktober 2008
Jakarta, Kompas - Badan Pemeriksa Keuangan menemukan banyak sekali kelemahan dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Dalam ikhtisar laporan yang dibacakan Ketua BPK Anwar Nasution di depan Rapat Paripurna DPR, Selasa (21/10), misalnya, ditemukan hak atas aset tanah senilai Rp 15,98 triliun yang tidak jelas dan rawan disalahgunakan serta korupsi.
Ada pula pertanggungjawaban belanja daerah tanpa bukti memadai sebesar Rp 1,96 triliun.
Temuan lain, adanya kekurangan volume atau kelebihan pembayaran yang merugikan keuangan daerah minimal sebesar Rp 77,39 miliar. Penyertaan modal pemerintah daerah pada BUMD tanpa bukti kepemilikan sebesar Rp 446,94 miliar. Pengelolaan anggaran daerah tanpa mekanisme APBD sebesar Rp 626,27 miliar. Juga ada pemberian bantuan kepada instansi vertikal yang tak sesuai ketentuan sebesar Rp 51,4 miliar.
Menanggapi temuan tersebut, anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini (F-PKS, Banten II) dan Suparlan (F-PDIP, Lampung I), secara terpisah menilai masalah itu muncul karena pengawasan yang lemah. Menurut Jazuli, terkait dengan penyimpangan keuangan, sebenarnya ada badan pengawas daerah yang tugas dan fungsinya adalah mengawasi penggunaan anggaran daerah.
Selain itu, DPRD juga mesti menjalankan fungsi pengawasan. Pembinaan intensif atas manajemen keuangan daerah mestinya bisa dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.
Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa (F-PPP, Gorontalo) menjelaskan, daerah kekurangan tenaga teknis yang menguasai tata kelola keuangan negara. Departemen Keuangan telah melatih dan menyupervisi pegawai daerah, yaitu kepala atau staf akuntansi di pemerintah daerah. Sayangnya, pegawai bersangkutan tidak didukung aturan dan staf pendukung lain yang memadai.
Akuntabilitas publik
Ekonom Dradjad H Wibowo mengatakan, kekacauan dalam laporan keuangan di daerah dan pusat menunjukkan gejala akuntabilitas publik yang kurang diperhatikan oleh para penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah. Tertib administrasi dan keuangan masih menjadi wacana, bukan prioritas.
Di sisi lain, birokrasi anggaran sangat ketat di atas kertas, bahkan tidak fleksibel. Akibatnya, segala prosedur keuangan sering diabaikan dalam praktiknya di lapangan.
Faktor lain yang memengaruhi kebobrokan keuangan tersebut adalah lambatnya pencairan anggaran. Akibatnya banyak proyek yang pelaksanaannya dipercepat pada akhir tahun. Dampaknya, tertib administrasi keuangan diabaikan.
”Seharusnya dengan reformasi birokrasi, akuntabilitas publik jadi membaik. Namun, faktanya, audit BPK justru menunjukkan sebaliknya,” ujar Dradjad.(oin/dik)
Tanda Contreng dalam Pemilu
H. Jazuli Juwaini, MA,Surat Pembaca Koran Tempo
13 Oktober 2008
Pemilu 2009 sudah semakin dekat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak penyelenggara sudah mempersiapkan jauh-jauh hari pesta demokrasi ini. Pelaksanaan pemilu kali ini ada perubahan dibanding dulu, yaitu dalam hal pemberian tanda pada surat suara. KPU mengusulkan agar surat suara diberi tanda berupa contreng pada kolom nama parpol atau nomor calon atau nama calon. Namun, cara ini mengundang pro dan kontra dengan alasan tidak seluruh masyarakat Indonesia mengenal istilah itu. Selama ini pemilih (masyarakat) sudah akrab dengan cara mencoblos untuk memberikan suaranya.
Mantan anggota KPU, Imam Prasodjo, menyatakan dengan cara mencontreng diyakini akan banyak suara yang tidak sah. Perubahan cara pemilihan jangan terlalu drastis, karena masyarakat Indonesia masih banyak yang berpendidikan rendah hingga saat ini. Masyarakat yang berpendidikan rendah atau bahkan mereka yang tidak sekolah akan tidak nyaman atau bingung saat memegang pena kalau harus dengan cara mencontreng.
Anggota dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini, menyarankan kepada KPU supaya tidak memaksakan mekanisme mencontreng surat suara dalam Pemilu 2009, karena bila dipaksakan ada beberapa kelemahan. Terlebih lagi jika diterapkan pada kalangan tunanetra dan tunaaksara. Di samping itu, mengubah cara pemberian suara dari mencoblos menjadi mencontreng, menyilang, dan lain sebagainya membutuhkan edukasi yang panjang.
Anggota Komisi II dari FPAN, Andi Yuliani Paris, mengatakan istilah mencontreng tak dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, di daerah pemilihannya di Sulawesi Selatan, berdasarkan pengalaman di lapangan, tak ada masyarakat yang tahu istilah mencontreng. Sebaiknya KPU memberikan kebebasan penandaan dengan cara apa pun kepada pemilih.
Kita berharap KPU dan DPR tidak mempermasalahkan soal mencontreng atau mencoblos, karena esensi dari pemberian suara tersebut adalah memberi sebuah tanda pada gambar parpol. Jika keputusannya tetap menggunakan tanda contreng, maka KPU harus segera memasyarakatkan dan mensimulasikan kepada masyarakat. Jika hasil simulasi surat suara mendatang menunjukkan hasil komposisi pemilih yang mencoblos berimbang dengan pemilih yang mencontreng atau bahkan lebih besar, KPU harus terbuka untuk mengakomodasi, asalkan penandaan dilakukan pada kolom yang tepat.
Teuku Fachri
Jalan Awanglong Samarinda
Kalimantan Timur
Lupakan Pemakzulan
H. Jazuli Juwaini, MA,Kompas
7 Oktober 2008
Jakarta, Kompas - Wacana pemakzulan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terkait kebijakannya melantik Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara Thaib Armaiyn-Abdul Ghani Kasuba, sebaiknya dikesampingkan.
Sebab, Presiden hanya dapat dimakzulkan jika melakukan satu dari lima kesalahan yang bersifat personal.
”Kelima jenis kesalahan itu adalah telah melakukan korupsi, terlibat penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak kejahatan besar, dan melakukan tindakan tercela yang diatur dalam undang-undang,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Senin (6/10) di kantornya.
Pernyataan ini disampaikan untuk menanggapi rencana Partai Amanat Nasional (PAN) memakzulkan Presiden Yudhoyono. Sebab, perintahnya melantik Thaib-Kasuba dinilai melanggar UUD 1945 karena telah mengintervensi putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat yang menetapkan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo sebagai pemenang.
Jika putusan Presiden itu dinilai melanggar konstitusi, tetap tidak dapat dimakzulkan kecuali jika di dalamnya ada salah satu dari lima pelanggaran yang membuatnya dapat dimakzulkan. ”Jadi, menurut saya, wacana pemakzulan itu sebaiknya dikesampingkan saja,” ujar Mahfud.
Namun, jika ada pihak yang tetap mengajukan kasus perintah Presiden untuk melantik Thaib-Kasuba ke Mahkamah Konstitusi, lanjut Mahfud, pihaknya tetap akan memeriksanya.
Belum bersikap
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono menyebutkan, Partai Golkar belum menyikapi secara resmi langkah Presiden Yudhoyono yang memerintahkan pelantikan Gubernur Maluku Utara. Jika memang ada pihak yang keberatan, pengurus pusat Partai Golkar mempersilakan yang bersangkutan berjuang lewat jalur hukum.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaini, menyebutkan, langkah Presiden dan Menteri Dalam Negeri sudah benar. Dalam hal terjadi sengketa hasil pemilihan kepala daerah, kewenangan memutus ada di Mahkamah Agung (MA). Putusan MA itulah dasar sikap pemerintah. PKS berharap kandidat yang kalah berikut para pendukungnya bisa berlapang dada menerima konsekuensi demokrasi.
Tidak mudah
Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengemukakan, apa yang disampaikan Sayuti Asyatri itu hanya wacana.
”Itu kan wacana (PAN). Pemakzulan itu tidak gampang. Lagi pula tidak ada pelanggaran dalam hal itu. Karena kewenangan KPU sudah dibatalkan MA. MA minta pemerintah untuk menetapkan. Kalau itu tidak dijalankan, justru pemerintah tidak melaksanakan perintah MA pemegang kewenangan hukum. Pilkada Maluku Utara sudah beralih ke masalah sengketa,” ujar Hatta yang merupakan salah satu anggota majelis pertimbangan DPP PAN.
Menurut Hatta, PAN tidak memutuskan melakukan pemakzulan terhadap Presiden Yudhoyono terkait pelantikan Gubernur Malut. ”Itu kan suara Pak Sayuti,” ujarnya. (INU/dik/NWO)
Tanda Centang Diminta Tak Dipersoalkan
H. Jazuli Juwaini, MA,Koran Tempo
18 September 2008
Jakarta – Mantan Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, Ferry Mursyidan Baldan, meminta agar pemberian tanda pada pemungutan suara pemilihan umum 2009 dengan mencentang tak dipersoalkan lagi. Alasannya, pemberian tanda diatur dalam undang-undang.
Hanya, menurut Ferry, Komisi Pemilihan harus segera memasyarakatkan tanda tersebut. "Ini terkait dengan sah-tidaknya surat suara," kata anggota Fraksi Partai Golkar ini kemarin.
Komisi Pemilihan sebelumnya memastikan akan memasyarakatkan tanda contreng atau centang sebagai tanda sah dalam pemungutan suara pemilihan 2009. Pada pemilihan-pemilihan yang lalu, pemungutan suara selalu ditandai dengan mencoblos surat suara. Perubahan ini menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Namun, sejumlah politikus di Senayan menolak tanda centang. Anggota Komisi Pemerintahan DPR, Jazuli Juwaini, meminta Komisi Pemilihan tetap menganggap sah pencoblosan surat suara. Cara lama ini dinilai bisa memperkecil suara tak sah dalam pemberian suara. “Mencoblos lebih familiar,” kata dia.
Selain lebih biasa dilakukan pemilih, mencoblos dinilai lebih murah dan efisien karena hanya perlu paku. Tingkat kesalahan mencentang dinilai lebih tinggi daripada mencoblos. “Undang-undang secara eksplisit tidak mengharamkan mencoblos,” kata dia menegaskan.
Tanda centang ini memang sudah disepakati Komisi Pemilihan. Namun, sebelum itu ditetapkan dalam peraturan, Komisi Pemilihan akan menggelar simulasi di tiga daerah, yakni Papua, Jawa Timur, dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Simulasi pemungutan di Papua dan Jawa Timur digelar pada 22 September. Adapun Simulasi di Nanggroe Aceh Darussalam seusai hari raya Idul Fitri. "KPU Provinsi Aceh meminta setelah Lebaran," kata anggota KPU, Andi Nurpati Baharuddin, di kantornya.
Tiga kota ini dipilih karena dinilai mewakili kondisi masyarakat Indonesia. Simulasi melibatkan 500 pemilih per tempat pemungutan suara. Pemilih berasal dari latar belakang berbeda agar mewakili keragaman masyarakat. Khusus Papua, kata Andi, simulasi dilakukan di perbatasan kota dan kabupaten.
Komisi mensimulasikan pemungutan suara dari dua desain surat suara. Andi mencontohkan, simulasi di Papua dengan menggunakan desain A dan Jawa Timur menggunakan desain B. Cara lain, kata dia, dengan menerapkan desain A dan B pada dua tempat pemungutan suara di satu daerah. Simulasi akan dipantau Badan Pengawas Pemilihan Umum, Komisi Pemerintahan DPR, dan Departemen Dalam Negeri. PURWANTO | HERU TRIYONO | DWI RIYANTO A | EKO ARI W
Tunda Pengumuman DPS
H. Jazuli Juwaini, MA,Suara Pembaharuan
8 September 2008
[JAKARTA] Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta menunda pengumuman daftar pemilih sementara (DPS) dan memperpanjang masa sosialisasi. DPS yang ada saat ini dinilai kacau-balau karena masih banyak warga masyarakat yang belum terdaftar.
Demikian dikatakan Ang-gota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Ida Fauziyah dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) kepada SP di Jakarta, Minggu (7/9).
Jazuli menilai, kinerja KPU dalam proses pemutahiran DPS sangat tidak maksimal. Sosiliasi DPS sangat kurang, akibatnya warga kurang sadar dan banyak tak paham cara mengecek namanya apakah sudah tercatat di DPS atau belum.
"Lihat saja iklan-iklan tentang DPS sangat minim di media elektronik ataupun media cetak. Kalau pemilu dulu, setiap selesai satu paket acara penting di TV, pasti ada mars pemilu atau iklan tentang tahapan pemilu. Ini kok tak ada, padahal jalur media massa paling efektif mengingatkan masyarakat untuk mengecek nama-nama mereka di DPS," kata Jazuli.
Ia heran KPU tak secara maksimal menyosialisasikan data DPS di media massa, padahal dana untuk itu cukup. "Jika DPS tak maksimal dan mengakibatkan banyak warga tak menggunakan hak pilihnya, berarti Pemilu 2009 tak berkualitas," lanjut Jazuli.
Ida Fausyiah menegaskan, jika datanya masih meragukan KPU harus menunda pengumuman DPS. "Pengumuman DPS ditunda dan diperpanjang masa sosialisasi sehingga hasil DPS benar-benar memadai," katanya.
Kendati begitu, Ida menilai, KPU sudah bekerja cukup keras hanya terkait DPS, waktu sosialisasi yang mungkin masih kurang sehingga perlu perpanjangan.
Soal peran partai politik (parpol) dalam menyosialisasikan DPS, Ida dan Jazuli sepakat bahwa parpol harus membantu menyosialisasikan DPS, sehingga seluruh rakyat dimungkinkan untuk mengikuti pemilu dengan baik.
Sudah Sosialisasi
Sementara itu, KPU menyatakan sosialisasi yang mereka lakukan untuk DPS sudah jalan di provinsi dan kabupaten/kota. "Proses sosialisasi jalan, cuma intensitas yang berbeda," kata anggota KPU, Abdul Aziz, Senin (8/9).
Menurutnya, anggaran untuk sosialisasi sebenarnya sudah dicairkan ke masing-masing KPU kabupaten/kota hingga provinsi. Hanya saja memang, pencairan anggaran itu tidak seragam di tiap daerah. "Kita akan mengecek setiap kabupaten kota terkait DPS ini. Saya belum dapat memastikan sekarang berapa jumlah DPS", kata Aziz.
Wakil Ketua Partai Damai Sejahtera (PDS) Denny Tewu meminta Depdagri dan KPU proaktif menyosialisasikan kepada warga terkait DPS. Saat ini, banyak warga yang belum memahami sistem DPS baru yang berbasis KTP.
Dari berbagai daerah dilaporkan banyak warga yang mengaku belum mengecek keikutsertaan mereka dalam pemilu melalui DPS. Warga mengaku tidak sempat datang ke kelurahan, karena sibuk dengan pekerjaan, dan masa bodoh ikut atau tidak dalam Pemilu 2009.
Iwan (40), warga Cempaka Putih, Jakarta Pusat, mengatakan, petugas tidak bisa mengharapkan inisiatif warga untuk mendaftar. Petugas harus turun ke lapangan dan mendatangi rumah-rumah warga karena mereka telah dibayar. "Buat apa mereka dibayar kalau tidak mau mendata," tegas Iwan.
Sementara itu, Doni D (25), warga Kwitang, Jakarta Pusat mengemukakan jenuh dengan urusan politik termasuk mendaftar sebagai DPS karena banyak janji politisi yang tidak pernah terealisasi. Dengan kondisi itu maka ia tidak akan berinsiatif datang ke PPS untuk mendaftar. Menurutnya, PPS harus aktif mendata dirinya jika memang masih dilibatkan dalam Pemilu 2009 nanti.
"Kalau PPS tidak mau mendata, ya golput sajalah. Masa kita harus diminta aktif. Kerjaan mereka apa?" tanyanya. [Tim SP]
Sangat Tidak Tepat, KPU ke Luar Negeri
H. Jazuli Juwaini, MA,Kompas
Rabu, 3 September 2008
Jakarta, Kompas - Rencana Komisi Pemilihan Umum pergi ke 14 kota di luar negeri dinilai sangat tidak tepat waktunya. Alasan KPU pergi untuk melakukan sosialisasi dan supervisi Panitia Pemilihan Luar Negeri dinilai belum diperlukan, terutama ketika belum ada ketentuan teknis mengenai cara pemberian suara.
Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II), Selasa (2/9), mempertanyakan materi sosialisasi yang hendak disampaikan anggota KPU kepada pemilih di luar negeri. Perubahan terpenting dalam Pemilu 2009 adalah cara pemberian suara. Berbeda dari sebelumnya, pemberian suara tidak lagi dengan mencoblos.
Karena itu, mestinya KPU terlebih dulu menyelesaikan format surat suara dan ketentuan teknis pemberian suara, termasuk mengenai sah-tidaknya surat suara.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Banten II), juga menyebutkan, langkah KPU ke luar negeri sangat tidak tepat, terlebih ketika persoalan amat menumpuk di dalam negeri. Jika alasannya untuk sosialisasi, lebih baik KPU berkonsentrasi di dalam negeri. ”Kalaupun hendak sosialisasi, teknologi telekomunikasi jarak jauh bisa dimanfaatkan,” katanya.
Jazuli juga mengingatkan, KPU mesti berhemat anggaran. Dari alokasi dana sebesar Rp 6,6 triliun yang diminta, masih Rp 2,6 triliun yang ditahan.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Nur Hidayat Sardini dan mantan anggota KPU, Mulyana W Kusumah, secara terpisah juga mengingatkan, setidaknya ada empat tahapan pemilu yang sedang berjalan tak optimal. Ketiga tahapan itu adalah penyelenggaraan kampanye partai politik peserta pemilu, pendaftaran calon anggota legislatif parpol dan Dewan Perwakilan Daerah, serta penyusunan Daftar Pemilih.
”Sosialisasi di dalam negeri saja jauh dari maksimal karena alasan dana. Sebaiknya keberangkatan ke luar negeri ditunda dulu,” kata Mulyana.
Sementara itu, Nur menilai KPU sebaiknya memprioritaskan pembentukan lembaga penyelenggara pemilu di dalam negeri yang belum terbentuk seluruhnya, seperti Panitia Pemungutan Suara di tingkat desa/kelurahan serta Petugas Pemutakhiran Data Pemilih. ”KPU sebaiknya memprioritaskan pembentukan penyelenggaraan pemilu di dalam negeri,” katanya.
Anggota Badan Pengawas Pemilu lainnya, Wahidah Suaib, menilai pembentukan Panitia Pemilihan Luar Negeri dapat dilakukan dengan meminta bantuan perwakilan Indonesia yang ada di berbagai negara atau dilakukan oleh Sekretariat Jenderal KPU.
Walaupun mendapat sorotan dan menuai kritik, tujuh anggota KPU tetap akan bepergian ke 14 kota di luar negeri. Alasannya, pembentukan Panitia Pemilihan Luar Negeri dan sosialisasi pemilu adalah perintah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. ”Ini urgent (penting), jadi kami akan pergi karena merupakan bagian tugas penyelenggara pemilu,” kata anggota KPU, Abdul Aziz.
KPU memperkirakan ada 13 juta penduduk Indonesia di luar negeri yang berpotensi menjadi pemilih.
Menyangkut kotak suara, KPU menyerahkan pemilihan bahan pembuatan kotak suara kepada pengurus KPU di daerah. Dalam peraturan yang sedang disusun, KPU hanya memberikan pilihan bahan kotak suara, yaitu kayu lapis atau plastik.
Abdul Aziz, Senin lalu di Jakarta, mengatakan, pengadaan penambahan kotak suara di daerah itu menggunakan dana dari APBN. KPU memperkirakan pengadaan penambahan kotak suara berjumlah 613.656 buah. Jumlah kotak suara itu untuk menggantikan kotak suara berbahan aluminium yang rusak.(SIE/MZW/dik)
KPU Disarankan Tunda Kunjungan ke Luar Negeri
H. Jazuli Juwaini, MA,Koran Tempo
Rabu, 3 September 2008
JAKARTA - Sejumlah anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat menyarankan Komisi Pemilihan Umum menyelesaikan format surat suara dan mekanisme pemungutan suara sebelum memasyarakatkan Pemilihan Umum 2009 ke luar negeri. "Kalau format (surat) suara belum selesai, jangan ke luar (negeri) dulu," kata mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu Ferry Mursyidan Baldan di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
Anggota Komisi Pemerintahan DPR ini menilai penyelesaian format suara penting karena para pemilih di luar negeri sering mempertanyakan soal teknis pemungutan suara. Politikus Partai Golkar ini menilai sia-sia Komisi memasyarakatkan ke luar negeri tanpa rumusan format surat suara. "Kalau berangkat (memasyarakatkan) sekarang, itu baru setengah jalan," kata Ferry.
Komisi berencana memasyarakatkan tahapan pemilihan kepada para calon pemilih dan panitia pemungutan suara di 14 negara. Perjalanan berlangsung dari 9 September hingga 3 November, antara lain ke Kuala Lumpur (Malaysia), Beijing (Cina), Sydney (Australia), Den Haag (Belanda), Havana (Kuba), serta Madrid (Spanyol). Menurut Ketua Biro Keuangan Komisi Pemilihan Lukmansyah, sosialisasi sudah direncanakan. "Dana diambil dari pos anggaran Komisi Pemilihan di Departemen Luar Negeri," kata Lukmansyah.
Namun, anggota DPR dari Fraksi Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini, menilai rencana kunjungan ini memboroskan anggaran. Apalagi Komisi Pemilihan memiliki anggaran yang minim persiapan. Sosialisasi tak perlu mendatangi negara lain. "Kan, bisa dikirim lewat dunia maya," kata dia. "Jangan mengobral-obral anggaran."
Komisi disarankan bekerja sama dengan Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar Republik Indonesia. Cara ini dinilai lebih efisien dibanding pergi ke negara tujuan. Kalaupun ke luar negeri, kata Jazuli, "Tak perlu satu negara dua orang."
Anggota Fraksi Persatuan Pembangunan, Chozin Chumaedy, menilai Komisi tak tepat mengusulkan kunjungan ini. "Waktu(kunjungan)-nya tidak tepat," kata Chozin. Sebelum format surat suara dirumuskan, kata dia, "Sosialisasi tak tuntas." DWI RIYANTO A
Petinggi KPU Lukai Hati Rakyat Yang Lagi Sengsara
H. Jazuli Juwaini, MA,Rakyat Merdeka
Rabu, 3 September 2008
KPU terus dapat sorotan tajam terkait rencana keberangkatan ke luar negeri. Kepergian komisi pimpinan Abdul Hafiz Anshary ini dianggap telah melukai hati rakyat yang kehidupan ekonominya makin sengsara.
KETUA Umum Forum Study Aksi Demokrasi (Fosad) Faisal Riza Rahmat mengecam rencana road show anggota KPU ke luar negeri. Jika perjalanan keluar negeri tetap dilakukan artinya KPU tidak memiliki sense of crisis. Para petinggi KPU itu, kata Faisal, telah melukai hati rakyat. “Keluar negeri kan menggunakan dana rakyat. Kalau dihitung-hitung, bisa mengeluarkan dana ratusan miliar rupiah. Bagaimana tidak melukai hati rakyat? Lihat dong kondisi rakyat. Apa mereka bisa mempertanggungjawabkannya kepada rakyat,” kecam Riza. Diberitahukan sebelumnya, dalam Surat Tugas KPU Nomor 412/15/ST/VIII/2008, yang ditandatangani Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari terungkap rencana road show KPU ke 14 negara.
Road Show ini bertujuan untuk supervise dan sosialisasi pemilu terhadap masyarakat Indonesia di luar negeri. Dalam kunjungan itu dua kota dikunjungi satu tim KPU yang terdiri dari delapan orang. Enam dari unsure Sekretariat Jenderal dan dua komisioner KPU. Peserta lainnya yang turut dalam rombongan KPU berasal dari pejabat Deplu, Departemen Hukum dan HAM serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Pada kunjungan pertamanya ke Serawak, Sabah dan Brunei Darussalam pada 25-30 Agustus lalu KPU Syamsul Bahri menceritakan, sosialisasi tidak dilakukan langsung kepada TKI melainkan ke perwakilan mereka.
“Kita sosialisasi kepada tokoh masyarakat di sana. Sosialisasi dilakukan di lakukan di Konsulat dan Kedutaan Besar,” katanya. Melanjutkan keterangannya, Faisal mengatakan, harusnya KPU mempersiapkan pemilu sebaik-baiknya. “Persiapan pesta demokrasi di dalam negeri saja semrawut, malah melakukan perjalanan ke luar negeri. Kinerja KPU mundur. Harusnya jadi perhatian Presiden. Karena KPU saat ini lebih buruk dari sebelumnya,” nilainya. Karenanya, Reza mengusulkan agar kepengurusan KPU sekarang layak diganti.
“Buat apa mempertahankan orang-orang yang tidak becus mengurus pelaksanaan pemilu. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat saja. Tugas Presiden adalah membentuk kepengurusan yang baru,” pintanya. Kalangan DPR juga mengecam kebijakan KPU yang akan road show ke 14 negara. Anggota Komisi II asal Fraksi PAN Andi Yuliani Paris menilai Dewan tidak melarang KPU melakukan perjalanan ke luar negeri. Namun, saat ini ada tahapan yang harusnya menjadi prioritas di dalam negeri.
“Kepergian KPU ke luar negeri memang diatur dalam undang-undang. Tapi, apa harus dilakukan saat ini,” tegas Andi. Andi mengatakan, kepergian KPU ke luar negeri sebetulnya bisa ditunda. “Kalaupun ingin dilakukan saat ini, jangan banyak membawa orang. Cukup satu orang saja yang berangkat,” tegasnya. Saat ini, kata Andi, ada dua tahapan penting harus diselesaikan KPU. Pertama, penyelesaian Daftar Pemilih Sementara (DPS). Kedua, penetapan kertas suara. “Dua hal tersebut harus diselesaikan dulu. Karena DPS dan kertas suara sangat mempengaruhi tahapan-tahapan selanjutnya,” jelasnya. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengakui, sosialisasi di dalam dan di luar negeri sama-sama diamanatkan dalam Undang-Undang. Tapi, dia mempertanyakan, kenapa KPU lebih semangat untuk melakukan sosialisasi di luar negeri ketimbang menyelesaikan tahapan pemilu.
“Padahal, sosialisasi luar negeri hanya untuk beberapa dapil (daerah pemilihan) saja. Ini bagaimana? Kok, ngurusin satu dapil luar negeri jauh lebih serius dari pada banyak dapil,” tegas Jazuli. Anggota Komisi II dari FKB Ida Fauziyah menyarankan tiga poin penting yang harus dilakukan KPU dalam mengambil kebijakan. Pertama, membuat skala prioritas. Kedua, menghitung waktu yang tepat. Ketiga, pergunakan anggaran secara efektif dan efisien. Sementara, KPU tetap ngotot akan berangkat ke luar negeri. Ke luar negeri itu untuk keperluan sosialisasi dan pelantikan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN). Dia menambahkan, PPLN tidak bisa melaksanakan tugas jika belum dilantik,” jelas Ketua Divisi Logistik dan Keuangan KPU Abdul Aziz di sela-sela rapat pleno KPU di Gedung KPU.
Saat ini, katanya, KPU memiliki perwakilan di 117 negara. Dari jumlah tersebut, telah terbentuk 114 PPLN. Rencananya, dari 114 negara ini sebagai titik pertemuan. “Perjalanan luar negeri ini adalah yang pertama dan terakhir. Jika proses sosialisasi berjalan baik, proses selanjutnya bisa melalui perwakilan luar negeri,” katanya.
Jadwal Keberangkatan Anggota KPU Ke-14 Kota Di Luar Negeri
No. Kota Tgl Keberangkatan Anggota KPU
1. Kuala Lumpur 9-12 Sept 2008 Syamsul Bahri dan Abdul Aziz
2. Beijing 13-16 Sept 2008 Syamsul Bahri dan Abdul Aziz
3. Manila 16-19 Sept 2008 I Gusti Putu Artha dan Andi Nurpati
4. New Delhi 20-23 Sept 2008 I Gusti Putu Artha dan Andi Nurpati
5. Sidney 22-25 Sept 2008 Abdul Hafiz Anshary dan Sri Nuryanti
6. Cape Town 26-29 Sept 2008 Abdul Hafiz Anshary dan Sri Nuryanti
7. Kairo 5-8 Okt 2008 Sri Nuryanti dan Andi Nurpati
8. Jeddah 9-12 Okt 2008 Sri Nuryanti dan Andi Nurpati
9. Moskow 12-15 Okt 2008 I Gusti Putu Artha & Abdul Hafiz Anshari
10. Den Haag 16-19 Okt 2008 I Gusti Putu Artha & Abdul Hafiz Anshari
11. Paris 19-22 Okt 2008 Sri Nuryanti dan Abdul Aziz
12. Madrid 23-26 Okt 2008 Sri Nuryanti dan Abdul Aziz
13. New York 27-30 Okt 2008 Syamsul Bahri dan Endang Sulastri
14. Havana 31 Okt – 3 Nov 2008 Syamsul Bahri dan Endang Sulastri
Sumber : KPU
JK Prihatin Perdagangan Politik Marak di DPR
H. Jazuli Juwaini, MA,Seputar Indonesia
Selasa, 2 September 2008
JAKARTA(SINDO), Tuesday, 02 September 2008– Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengaku prihatin atas maraknya perdagangan politik yang terjadi di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kalla menilai sistem politik yang terlalu banyak dipengaruhi sistem ekonomi acap menimbulkan persoalan, salah satunya adalah dugaan komersialisasi pembahasan rancangan undangundang (RUU) oleh anggota DPR. Menurut Kalla, tindakan seperti itu akan menyulut banyak permasalahan di kemudian hari.”Lihatlah apa yang terjadi di DPR. Ekonomi memengaruhi politik atau sistem, bikin UU (undang-undang) ada costnya.
Masuklah teman-teman dari KPK. Kita sangat menyesalkan karena pengaruh kehidupan ekonomi masuk ke politik,” tuding Kalla saat menerima peserta program pendidikan reguler angkatan ke-41 Lemhanas 2008 di kantornya kemarin. Karena itu Kalla meminta agar perdagangan politik seperti ini dihapuskan.” Orang sering mengatakan politik itu bagus, politikus bagus, pedagang juga bagus.Tapi yang paling tidak baik memperdagangkan politik.
Ada ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri) di sini yang berangkat dari DPR (pasti tahu).Tidak boleh!” ujarnya tandas. Meski demikian,Wapres menegaskan ekonomi tetap berperan penting dalam upaya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping ketahanan politik, Indonesia juga harus memiliki ketahanan ekonomi dan sosial yang kuat.
”Kita boleh mempunyai sistem politik yang bagus, tetapi (bila) ekonomi kita tidak maju,akan juga roboh sistem itu. Begitu juga sebaliknya, kita bisa mengusahakan ekonomi kita maju, tapi sistem politik kita demikian sulitnya,”ujar Wapres. Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai kritik Jusuf Kalla terhadap DPR punya alasan cukup kuat.”Karena memang apa yang dipaparkan itu terjadi,”kata Sebastian kepada SINDO tadi malam.
Menurut Sebastian, realitas jual beli undang-undang di DPR bukan hal baru dan bukan rahasia lagi.Uang juga berpengaruh terhadap prioritas undang-undang dan waktu pembahasannya. Belum lagi kasus suap dan sebagainya yang melibatkan lembaga perwakilan itu. Namun, sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, Kalla juga bertanggung jawab atas keadaan itu.
Partainya juga merupakan pemilik mayoritas kursi di DPR.”Ini dia,seperti menepuk air didulang terpercik muka sendiri,” Sebastian mengibaratkan. Karena itu, Kalla dengan Golkar seharusnya ikut membenahi dan bertanggung jawab. Tidak cukup hanya sekadar melakukan kritik. Selain itu, sebagai wakil presiden, kritik Kalla juga seolah jadi bumerang bagi dirinya sendiri. Sebab, selama ini yang melakukan perdagangan politik dengan DPR adalah pemerintah karena kasus suap di DPR selalu melibatkan pihak pemerintah.
Dalam kasus BI, misalnya, atau yang lainnya.”Yang nyogok juga kan pemerintah,” ujarnya. Sebastian menyarankan sebaiknya Kalla, sembari mengkritik, melakukan upaya pembenahan. Karena jika tidak diubah, DPR akan mengalami delegitimasi. ”Kalau itu terjadi, imbasnya parpol juga tidak akan dipercaya,” tuturnya. Senada dengan Sebastian, anggota Komisi II DPR Jazuli Juwaini menilai pernyataan Kalla bisa menjadi bumerang bagi Kalla yang menjabat Ketua Umum DPP Partai Golkar mengingat mayoritas anggota DPR berasal dari Partai Golkar.
”Kalla sebagai ketua umum (Partai Golkar) harus membuktikan pernyataannya dengan meminta anak buahnya di DPR untuk tidak melakukan hal tersebut (memperdagangkan politik),” tegas Jazuli. Jazuli juga berharap imbauan Kalla ini tidak hanya ditujukan bagi anggota parlemen, melainkan juga pemerintah.” Saya sangat setuju, tidak boleh ada komersialisasi politik. Ini tidak hanya berlaku bagi anggota DPR, tetapi juga pemerintah,”ujar Jazuli saat dihubungi SINDO kemarin.
Menurut politikus PKS ini, perundang-undangan tidak boleh dikomersialkan karena akan menyebabkan undang-undang tersebut kehilangan arah dan objektivitasnya. Namun, pendapat Wapres mengenai adanya anggota DPR yang melakukan komersialisasi rancangan undang-undang masih perlu dibuktikan terlebih dulu.”Kalau komersialisasi undang-undang itu tidak boleh, tapi persoalannya ada buktinya atau tidak,” tandasnya.
Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Muhammad Yasin Kara melihat kekhawatiran Kalla cukup beralasan. Dia mencontohkan lambannya pengesahan Undang- Undang Mineral dan Batu Bara yang ditengarai akibat benturan kepentingan antara pengusaha dan keinginan anggota panitia khusus (pansus).”Anggota pansus menginginkan ada keuntungan lebih besar kepada negara. Ini berbenturan dengan keinginan pengusaha,” katanya kepada SINDO kemarin.
Mantan aktivis HMI ini menyatakan, masing-masing elite partai politik (parpol) harus memberikan contoh yang baik. Dengan begitu, kadernya yang duduk sebagai anggota DPR tidak gamang dalam membahas UU dan mampu membuat rumusan yang objektif.
Menandai Tunggal Merugikan Pemilih
H. Jazuli Juwaini, MA, Rabu, 28 Januari 2009Indo Pos
16 September 2008
Jakarta-Kepastian bagaimana tata cara menandai surat suara Pemilu 2009 belum menemui titik terang. Komisi II DPR menganggap opsi menandai tunggal hanya melalui mencontreng bakal merugikan pemilih. Karena itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebisa mungkin memiliki banyak opsi menandai demi syarat sah suarat suara.
"Ini sistem yang baru, seharusnya menandai untuk saat ini dibebaskan," kata Sutjipto, anggota Komisi II DPR dalam rapat kerja bersama KPU di gedung DPR, Jakarta kemarin (15/9) .
Politisi FPKS Jazuli Juwaini menambahkan, KPU jangan hanya terjebak hanya menggunakan istilah mencontreng. Istilah tersebut hanya diketahui segelintir daerah, sementara daerah lain memahami mencontreng dengan istilah lain seperti mencentang, mencawang seperti halnya di daerah Jawa. "Bahasa mencentrang tidak relevan untuk konteks nasional, KPU harus mencari istilah yang tepat," saran Jazuli.
Menanggapi hal itu, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menyatakan, ditetapkannya mencontreng oleh KPU adalah sebagai sarana mempermudah sosialisasi. KPU saat ini memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada KPU daerah untuk mensosialisasikan mencontreng, sesuai kekhasan istilah di wilayah mereka masing-masing. "Sosialisasi mencontreng sudah kami lakukan sejak lama," katanya di depan raker.
Jumlah Pemilih Turun Dua Juta
H. Jazuli Juwaini, MA,Kompas
Selasa, 16 September 2008
Jakarta, Kompas - Jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Sementara atau DPS menurun setelah dimutakhirkan oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Angka DPS awal sebanyak 172.801.878 pemilih dan setelah dimutakhirkan menjadi 170.752.862 pemilih atau mengalami penurunan sebanyak 2.049.016 pemilih.
Demikian disampaikan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Senin (15/9) di Jakarta. Jumlah pemilih yang berkurang itu akibat banyaknya data yang dobel atau warga yang sudah meninggal tetapi tetap terdaftar. ”Itu hasil laporan KPU provinsi dan masih data sementara. Saat ini masih dilakukan DPS perbaikan,” katanya.
Mengenai penelitian dari sejumlah lembaga, yang menyatakan sekitar 20 persen pemilih tak terdaftar, dia mengatakan, KPU berusaha mencari warga yang belum terdaftar sebagai pemilih. Namun, bila ada sekitar 20 persen atau 34 juta penduduk belum terdaftar sebagai pemilih, jumlah pemilih menjadi sekitar 206 juta, sementara jumlah penduduk sekitar 224 juta, atau kurang dari 20 juta yang bukan pemilih. ”Apakah betul jumlah yang bukan pemilih hanya sebanyak itu,” katanya.
Anggota Komisi II, Jazuli Juwaini dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, mempertanyakan jumlah pemilih yang berkurang. ”Jika berkurang, agak susah logikanya. Meski banyak yang meninggal, tetapi banyak juga yang menikah dalam dua tahun ini, atau banyak pensiunan TNI/Polri yang kemudian mempunyai hal pilih,” kata Jazuli.
Jazuli meminta KPU teliti dalam penyusunan daftar pemilih. ”Saat ini sosialisasi juga belum maksimal,” katanya.
Pendaftaran pemilih ke KPU
Secara terpisah, Ketua KPU DKI Jakarta Juri Ardiantoro, Senin, menjelaskan, meski pendaftaran pemilih tambahan sudah ditutup 8 September lalu, warga DKI Jakarta yang belum terdaftar sebagai pemilih masih diberi kesempatan mendaftarkan diri. Mereka diberi kesempatan untuk mendaftar hingga sebelum Daftar Pemilih Tetap ditetapkan.
Namun, pendaftaran pemilih tambahan tidak lagi dilakukan di Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kelurahan/desa, tetapi langsung ke KPU kota/kabupaten. ”Undang-undang menegaskan pendaftaran pemilih melalui PPS. Namun, KPU DKI Jakarta mengambil kebijakan mengakomodasi warga yang memiliki hak pilih namun belum terdaftar sebagai pemilih,” katanya.
Dari Bandung, Jawa Barat, sejumlah kelurahan baru menerima instruksi dari KPU Kota Bandung untuk mengumumkan DPS pada Senin. Padahal, waktu pengumuman DPS itu telah tiga kali diperpanjang dari jadwal yang seharusnya, yakni pada 8-14 Agustus 2008.
Sekretaris Kelurahan Ciseureuh, Kecamatan Regol, Deni Setiabudi mengatakan, surat dari KPU itu baru ia terima dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Regol, Senin pagi. Namun, DPS di Kelurahan Ciseureuh tak bisa diumumkan sebab PPS belum dilantik.
Di Salatiga, Jawa Tengah, koreksi terhadap DPS yang sudah diumumkan KPU didominasi laporan warga yang mengetahui namanya tidak tercantum dalam daftar. Sejauh ini belum ada usulan tambahan pemilih dalam DPS dari partai politik.
Sekretaris KPU Kota Salatiga Moh Agus Susilo mengakui, parpol masih sibuk mengurusi proses pencalonan anggota legislatif. Kondisi itu tampak dari banyak buku berisi nama pemilih sementara di PPS yang belum diambil oleh partai.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, DPS ternyata tidak dijumpai di papan pengumuman Kelurahan Darat Sekip, Pontianak. Di papan pengumuman hanya ditempelkan informasi jumlah pemilih sementara di setiap tempat pemungutan suara.(sie/mzw/gal/rek/why)
Jumlah Pemilih Turun Dua Juta
H. Jazuli Juwaini, MA,Kompas
Selasa, 16 September 2008
Jakarta, Kompas - Jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Sementara atau DPS menurun setelah dimutakhirkan oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Angka DPS awal sebanyak 172.801.878 pemilih dan setelah dimutakhirkan menjadi 170.752.862 pemilih atau mengalami penurunan sebanyak 2.049.016 pemilih.
Demikian disampaikan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Senin (15/9) di Jakarta. Jumlah pemilih yang berkurang itu akibat banyaknya data yang dobel atau warga yang sudah meninggal tetapi tetap terdaftar. ”Itu hasil laporan KPU provinsi dan masih data sementara. Saat ini masih dilakukan DPS perbaikan,” katanya.
Mengenai penelitian dari sejumlah lembaga, yang menyatakan sekitar 20 persen pemilih tak terdaftar, dia mengatakan, KPU berusaha mencari warga yang belum terdaftar sebagai pemilih. Namun, bila ada sekitar 20 persen atau 34 juta penduduk belum terdaftar sebagai pemilih, jumlah pemilih menjadi sekitar 206 juta, sementara jumlah penduduk sekitar 224 juta, atau kurang dari 20 juta yang bukan pemilih. ”Apakah betul jumlah yang bukan pemilih hanya sebanyak itu,” katanya.
Anggota Komisi II, Jazuli Juwaini dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, mempertanyakan jumlah pemilih yang berkurang. ”Jika berkurang, agak susah logikanya. Meski banyak yang meninggal, tetapi banyak juga yang menikah dalam dua tahun ini, atau banyak pensiunan TNI/Polri yang kemudian mempunyai hal pilih,” kata Jazuli.
Jazuli meminta KPU teliti dalam penyusunan daftar pemilih. ”Saat ini sosialisasi juga belum maksimal,” katanya.
Pendaftaran pemilih ke KPU
Secara terpisah, Ketua KPU DKI Jakarta Juri Ardiantoro, Senin, menjelaskan, meski pendaftaran pemilih tambahan sudah ditutup 8 September lalu, warga DKI Jakarta yang belum terdaftar sebagai pemilih masih diberi kesempatan mendaftarkan diri. Mereka diberi kesempatan untuk mendaftar hingga sebelum Daftar Pemilih Tetap ditetapkan.
Namun, pendaftaran pemilih tambahan tidak lagi dilakukan di Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kelurahan/desa, tetapi langsung ke KPU kota/kabupaten. ”Undang-undang menegaskan pendaftaran pemilih melalui PPS. Namun, KPU DKI Jakarta mengambil kebijakan mengakomodasi warga yang memiliki hak pilih namun belum terdaftar sebagai pemilih,” katanya.
Dari Bandung, Jawa Barat, sejumlah kelurahan baru menerima instruksi dari KPU Kota Bandung untuk mengumumkan DPS pada Senin. Padahal, waktu pengumuman DPS itu telah tiga kali diperpanjang dari jadwal yang seharusnya, yakni pada 8-14 Agustus 2008.
Sekretaris Kelurahan Ciseureuh, Kecamatan Regol, Deni Setiabudi mengatakan, surat dari KPU itu baru ia terima dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Regol, Senin pagi. Namun, DPS di Kelurahan Ciseureuh tak bisa diumumkan sebab PPS belum dilantik.
Di Salatiga, Jawa Tengah, koreksi terhadap DPS yang sudah diumumkan KPU didominasi laporan warga yang mengetahui namanya tidak tercantum dalam daftar. Sejauh ini belum ada usulan tambahan pemilih dalam DPS dari partai politik.
Sekretaris KPU Kota Salatiga Moh Agus Susilo mengakui, parpol masih sibuk mengurusi proses pencalonan anggota legislatif. Kondisi itu tampak dari banyak buku berisi nama pemilih sementara di PPS yang belum diambil oleh partai.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, DPS ternyata tidak dijumpai di papan pengumuman Kelurahan Darat Sekip, Pontianak. Di papan pengumuman hanya ditempelkan informasi jumlah pemilih sementara di setiap tempat pemungutan suara.(sie/mzw/gal/rek/why)
Jumlah Pemilih Turun Dua Juta
H. Jazuli Juwaini, MA,Kompas
Selasa, 16 September 2008
Jakarta, Kompas - Jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Sementara atau DPS menurun setelah dimutakhirkan oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Angka DPS awal sebanyak 172.801.878 pemilih dan setelah dimutakhirkan menjadi 170.752.862 pemilih atau mengalami penurunan sebanyak 2.049.016 pemilih.
Demikian disampaikan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Senin (15/9) di Jakarta. Jumlah pemilih yang berkurang itu akibat banyaknya data yang dobel atau warga yang sudah meninggal tetapi tetap terdaftar. ”Itu hasil laporan KPU provinsi dan masih data sementara. Saat ini masih dilakukan DPS perbaikan,” katanya.
Mengenai penelitian dari sejumlah lembaga, yang menyatakan sekitar 20 persen pemilih tak terdaftar, dia mengatakan, KPU berusaha mencari warga yang belum terdaftar sebagai pemilih. Namun, bila ada sekitar 20 persen atau 34 juta penduduk belum terdaftar sebagai pemilih, jumlah pemilih menjadi sekitar 206 juta, sementara jumlah penduduk sekitar 224 juta, atau kurang dari 20 juta yang bukan pemilih. ”Apakah betul jumlah yang bukan pemilih hanya sebanyak itu,” katanya.
Anggota Komisi II, Jazuli Juwaini dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, mempertanyakan jumlah pemilih yang berkurang. ”Jika berkurang, agak susah logikanya. Meski banyak yang meninggal, tetapi banyak juga yang menikah dalam dua tahun ini, atau banyak pensiunan TNI/Polri yang kemudian mempunyai hal pilih,” kata Jazuli.
Jazuli meminta KPU teliti dalam penyusunan daftar pemilih. ”Saat ini sosialisasi juga belum maksimal,” katanya.
Pendaftaran pemilih ke KPU
Secara terpisah, Ketua KPU DKI Jakarta Juri Ardiantoro, Senin, menjelaskan, meski pendaftaran pemilih tambahan sudah ditutup 8 September lalu, warga DKI Jakarta yang belum terdaftar sebagai pemilih masih diberi kesempatan mendaftarkan diri. Mereka diberi kesempatan untuk mendaftar hingga sebelum Daftar Pemilih Tetap ditetapkan.
Namun, pendaftaran pemilih tambahan tidak lagi dilakukan di Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kelurahan/desa, tetapi langsung ke KPU kota/kabupaten. ”Undang-undang menegaskan pendaftaran pemilih melalui PPS. Namun, KPU DKI Jakarta mengambil kebijakan mengakomodasi warga yang memiliki hak pilih namun belum terdaftar sebagai pemilih,” katanya.
Dari Bandung, Jawa Barat, sejumlah kelurahan baru menerima instruksi dari KPU Kota Bandung untuk mengumumkan DPS pada Senin. Padahal, waktu pengumuman DPS itu telah tiga kali diperpanjang dari jadwal yang seharusnya, yakni pada 8-14 Agustus 2008.
Sekretaris Kelurahan Ciseureuh, Kecamatan Regol, Deni Setiabudi mengatakan, surat dari KPU itu baru ia terima dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Regol, Senin pagi. Namun, DPS di Kelurahan Ciseureuh tak bisa diumumkan sebab PPS belum dilantik.
Di Salatiga, Jawa Tengah, koreksi terhadap DPS yang sudah diumumkan KPU didominasi laporan warga yang mengetahui namanya tidak tercantum dalam daftar. Sejauh ini belum ada usulan tambahan pemilih dalam DPS dari partai politik.
Sekretaris KPU Kota Salatiga Moh Agus Susilo mengakui, parpol masih sibuk mengurusi proses pencalonan anggota legislatif. Kondisi itu tampak dari banyak buku berisi nama pemilih sementara di PPS yang belum diambil oleh partai.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, DPS ternyata tidak dijumpai di papan pengumuman Kelurahan Darat Sekip, Pontianak. Di papan pengumuman hanya ditempelkan informasi jumlah pemilih sementara di setiap tempat pemungutan suara.(sie/mzw/gal/rek/why)
Sangat Tidak Tepat, KPU ke Luar Negeri
H. Jazuli Juwaini, MA,Kompas
3 September 2008
Seharusnya Bisa Manfaatkan Teknologi Informasi
Jakarta, Kompas - Rencana Komisi Pemilihan Umum pergi ke 14 kota di luar negeri dinilai sangat tidak tepat waktunya. Alasan KPU pergi untuk melakukan sosialisasi dan supervisi Panitia Pemilihan Luar Negeri dinilai belum diperlukan, terutama ketika belum ada ketentuan teknis mengenai cara pemberian suara.
Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II), Selasa (2/9), mempertanyakan materi sosialisasi yang hendak disampaikan anggota KPU kepada pemilih di luar negeri. Perubahan terpenting dalam Pemilu 2009 adalah cara pemberian suara. Berbeda dari sebelumnya, pemberian suara tidak lagi dengan mencoblos.Karena itu, mestinya KPU terlebih dulu menyelesaikan format surat suara dan ketentuan teknis pemberian suara, termasuk mengenai sah-tidaknya surat suara.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Banten II), juga menyebutkan, langkah KPU ke luar negeri sangat tidak tepat, terlebih ketika persoalan amat menumpuk di dalam negeri. Jika alasannya untuk sosialisasi, lebih baik KPU berkonsentrasi di dalam negeri. ”Kalaupun hendak sosialisasi, teknologi telekomunikasi jarak jauh bisa dimanfaatkan,” katanya.
Jazuli juga mengingatkan, KPU mesti berhemat anggaran. Dari alokasi dana sebesar Rp 6,6 triliun yang diminta, masih Rp 2,6 triliun yang ditahan.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Nur Hidayat Sardini dan mantan anggota KPU, Mulyana W Kusumah, secara terpisah juga mengingatkan, setidaknya ada empat tahapan pemilu yang sedang berjalan tak optimal. Ketiga tahapan itu adalah penyelenggaraan kampanye partai politik peserta pemilu, pendaftaran calon anggota legislatif parpol dan Dewan Perwakilan Daerah, serta penyusunan Daftar Pemilih.
”Sosialisasi di dalam negeri saja jauh dari maksimal karena alasan dana. Sebaiknya keberangkatan ke luar negeri ditunda dulu,” kata Mulyana.
Sementara itu, Nur menilai KPU sebaiknya memprioritaskan pembentukan lembaga penyelenggara pemilu di dalam negeri yang belum terbentuk seluruhnya, seperti Panitia Pemungutan Suara di tingkat desa/kelurahan serta Petugas Pemutakhiran Data Pemilih. ”KPU sebaiknya memprioritaskan pembentukan penyelenggaraan pemilu di dalam negeri,” katanya.
Anggota Badan Pengawas Pemilu lainnya, Wahidah Suaib, menilai pembentukan Panitia Pemilihan Luar Negeri dapat dilakukan dengan meminta bantuan perwakilan Indonesia yang ada di berbagai negara atau dilakukan oleh Sekretariat Jenderal KPU.
Walaupun mendapat sorotan dan menuai kritik, tujuh anggota KPU tetap akan bepergian ke 14 kota di luar negeri. Alasannya, pembentukan Panitia Pemilihan Luar Negeri dan sosialisasi pemilu adalah perintah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. ”Ini urgent (penting), jadi kami akan pergi karena merupakan bagian tugas penyelenggara pemilu,” kata anggota KPU, Abdul Aziz.
KPU memperkirakan ada 13 juta penduduk Indonesia di luar negeri yang berpotensi menjadi pemilih.
Menyangkut kotak suara, KPU menyerahkan pemilihan bahan pembuatan kotak suara kepada pengurus KPU di daerah. Dalam peraturan yang sedang disusun, KPU hanya memberikan pilihan bahan kotak suara, yaitu kayu lapis atau plastik.
Abdul Aziz, Senin lalu di Jakarta, mengatakan, pengadaan penambahan kotak suara di daerah itu menggunakan dana dari APBN. KPU memperkirakan pengadaan penambahan kotak suara berjumlah 613.656 buah. Jumlah kotak suara itu untuk menggantikan kotak suara berbahan aluminium yang rusak.
Road Show KPU Dikecam
H. Jazuli Juwaini, MA,Seputar Indonesia
3 September 2008
JAKARTA (SINDO) – Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan sosialisasi tahapan pemilu di 14 negara menuai kecaman.
DPR menilai rencana itu tidak tepat.Sebab,KPU belum menyelesaikan teknik pemilihan yang menjadi hal penting untuk disosialisasi.
Anggota Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan meminta agar KPU menunda kunjungan sampai format surat suara selesai.”Karena itu yang banyak jadi pertanyaan. Termasuk di luar (negeri),” kata Ferry di Gedung DPR, Jakarta,kemarin.
Mantan Ketua Pansus RUU Pemilu ini mengatakan, surat suara sangat penting karena ini terkait teknik memberikan suara. Karena itu,lanjut dia,jika hal itu belum selesai, sebaiknya KPU tidak usah ke luar negeri dulu. Sebab, yang perlu disosialisasi sebenarnya adalah format surat suara dan cara memberikan tanda.”Karena ini yang beda dan yang lain saya kira sama dengan pemilu yang lalu,”paparnya.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi II DPR Chozin Cumaidy. Dia mengatakan, KPU harus menyelesaikan dulu semua teknik pemungutan suara sebelum ke luar negeri.”Proses pencalonan harus selesai dulu. Yang penting lagi bagaimana cara memilih. Surat suara modelnya seperti apa, itu yang lebih penting,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum PPP ini mengatakan, sosialisasi memang diperlukan. Masyarakat di luar negeri juga perlu mengetahui tata cara pemungutan suara.Namun, hanya soal waktu yang belum tepat.” Apakah waktunya sekarang, itu yang perlu dilihat. Teman-teman KPU kan juga punya banyak tugas yang masih harus diselesaikan,” tandasnya.
Anggota Komisi II lainnya, Jazuli Juwaini, menilai apa yang akan dilakukan KPU adalah pemborosan.”Luar negeri hanya untuk satu daerah pemilihan (dapil). Masa banyak uang dihabiskan untuk ke luar negeri yang hanya satu dapil saja,”ujarnya. Apalagi, kata dia, anggaran KPU berada dalam posisi mepet.Atau bisa diibaratkan mendapat lampu kuning. Karena itu, dia minta KPU efisien dan tidak obral anggaran.
Untuk solusi sosialisasi ke luar negeri, Jazuli menyatakan masih banyak hal yang bisa disiasati.”Ada alternatif dengan komunikasi dunia maya.Bisa dengan kerja sama dengan Departemen Luar Negeri (Deplu) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI),”ungkapnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nur Hidayat Sardini juga mengecam tindakan KPU. Menurut dia, yang seharusnya dilakukan KPU saat ini adalah memprioritaskan sosialisasi di dalam negeri. Sardini mengatakan, sosialisasi di dalam negeri saja masih minim. Dia mencontohkan amburadulnya pengumuman daftar pemilih sementara (DPS).
”Ada banyak hal di dalam negeri yang KPU harus segera lakukan pembenahan. Selain masalah DPS,administrasi pencalegan juga harus segara dibenahi karena hingga sekarang ini masih banyak yang kurang,” tandas Sardini di Kantor Bawaslu, Jakarta, kemarin.
Mengenai alasan KPU yang menyatakan kunjungannya untuk membentuk panitia pemungutan luar negeri (PPLN), dia menilai hal itu kurang tepat.Sebab,kata dia, KPU bisa saja meminta bantuan perwakilan negara di negara-negara yang kiranya akan dibentuk PPLN. Selain itu, lanjut dia, KPU juga bisa meminta bantuan Deplu untuk membentuknya.”Karena Deplu juga punya perangkat yang baik untuk mengerjakan itu,”ujarnya.
Menanggapi hal ini, anggota KPU Abdul Aziz menyatakan, kunjungan itu sangat diperlukan mengingat masih banyak warga negara Indonesia di luar negeri yang belum terdaftar sebagai pemilih. Dia mengungkapkan, tercatat ada 13 juta WNI yang berada di luar negeri. Dari jumlah itu, hanya 1,7 juta yang tercatat sebagai pemilih.”Dengan kondisi itu,sosialisasi di luar negeri sangat dibutuhkan,” tandasnya.
Menurut Aziz, dengan sosialisasi yang maksimal di luar negeri, partisipasi masyarakat diharapkan tinggi. Selain sosialisasi pemilu, KPU juga mempunyai kewajiban sosialisasi UU 10/2008 tentang Pemilu. Mengenai usulan agar KPU meminta bantuan KBRI terkait masalah ini, Aziz mengaku tugas KBRI sudah cukup banyak. ”Kan kita penyelenggara pemilu, bukan KBRI. Lagipula tugas KBRI banyak,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan anggota KPU lainnya, Endang Sulastri. Menurut dia, langkah sosialisasi ke luar negeri sudah tepat.Sebab,sosialisasi sangat dibutuhkan mengingat banyaknya WNI di luar negeri.
Revisi UUD Pemilu Legislatif penuh kepentingan politik
H. Jazuli Juwaini, MA,Republika Online
3 September 2008
JAKARTA -- Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan siap mendukung revisi terbatas asalkan ketentuannya baru di UU yang direvisi berlaku mutlak.Pernyataan ini disampaikan Ketua Fraksi PPP, Lukman Hakim Saifuddin, menanggapi pertanyaan sikap PPP atas usulan revisi terbatas UU No 10/2008. ''Kalau mau suara terbanyak, ya, ditegaskan suara terbanyak. Jangan ada opsi lain,'' kata Lukman di sela-sela sidang paripurna DPR, di Jakarta, Selasa (2/9).
Dijelaskannya, PPP bisa menyepakati kalau dalam revisi terbatas yang diusulkan Partai Golkar dan sejumlah partai, itu memberikan pengaturan tegas. Jangan sampai revisi terbatas hanya dijadikan ajang mengakomodasi kepentingan partai tertentu.
Jika PPP sepakat dengan syarat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan BPD (Bintang Pelopor Demokrasi) masih menegaskan penolakannya.
Anggota Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, mengatakan bahwa hingga kemarin, sikap partainya tetap tidak mendukung revisi terbatas. ''Kita tidak ingin melakukan revisi terbatas,'' jelas Jazuli.
Alasannya, substansi yang dimunculkan atas revisi terbatas ini sudah muncul sejak pembahasan RUU No 10/2008. Waktu itu, lanjut dia, PKS termasuk yang mengusulkan agar diterapkan suara terbanyak. ''Ini bukan hal yang terlewatkan. Tapi, sudah dibahas berhari-hari dalam pansus, yang diganjal oleh Partai Golkar serta sejumlah partai lainnya,'' paparnya.
Proses yang sudah disepakati harus dihargai. Ini untuk mendidik anak bangsa agar menghargai produk peraturan yang dibuat lembaga berwenang. ''Jika dipaksakan melakukan revisi, akan makin menunjukkan ke publik kalau DPR membuat undang-undang bukan demi kemaslahatan masyarakat, tapi kepentingan politik praktis mereka,'' papar Jazuli.
Persoalan lain, revisi terbatas makin membuktikan bahwa penyusun undang-undang tidak mempunyai desain untuk membangun demokrasi secara gradual. Secara gradual sebenarnya perubahan dari 100 persen BPP, lalu turun menjadi 30 persen dan pada Pemilu 2014 menjadi suara terbanyak, cukup bagus tahapannya.
Ketua Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD), Jamaluddin Karim, mengatakan bahwa partai yang meminta revisi UU No 10/2008, adalah partai 'banci'. Seharusnya, keinginan menerapkan suara terbanyak dilakukan sejak dulu. Jika kemudian secara mendadak minta revisi, lanjut dia, ini menunjukkan kepentingan partai masih mendominasi dibanding kepentingan bersama.
Ketua Fraksi Partai Demokrat (PD), Syarif Hasan, mengatakan, UU No 10/2008 sudah memutuskan ketentuan penetapan caleg terpilih dengan nomor urut. Kecuali, mereka yang bisa mencapai 30 persen bilangan pembagi pemilih.''Nomor urut sudah diputuskan, kalau bisa itu jangan dianulir. Di situ ada klausul yang supaya dipayungi bahwa untuk suara terbanyak juga bisa diadopsi,'' ungkapnya.
Dengan diakomodasinya dua sistem, penggunaan sistem yang akan diterapkan diserahkan ke parpol masing-masing. Apalagi pada Pemilu 2014 sudah diniatkan untuk menggunakan sistem full suara terbanyak.Syarif berdalih bahwa sejak awal PD menginginkan suara terbanyak. Tapi supaya ada kompromi, akhirnya menerima ketentuan yang sekarang ada di UU No 10/2008. ''Sekarang situasinya berbeda, setelah terimplementasikan, maka kalau bisa direvisi,'' tandasnya.Kesepakatan suara terbanyak di PD, lanjut dia, bukan karena adanya desakan dari caleg yang mendapat nomor urut sepatu, yang mendesak penerapan suara terbanyak. Langkah ini karena ingin mengakomodasi pemilih terbanyak yang harus terpilih.
Sementara itu, rencana revisi ini juga memunculkan gugatan dari Kaukus Perempuan Parlemen untuk HAM. Mereka menggelar konferensi pers menyatakan penolakannya tersebut. Hadir dalam konferensi itu, Nursjahbani Katjasungkana (PKB), Eva Sundari (PDIP), dan Nursanita (PKS).
Dalam pernyataannya, Kaukus mengatakan bahwa upaya pengimplementasian kuota 30 persen caleg perempuan, yang didukung dengan zipper system, menjadi kehilangan arti ketika suara terbanyak diterapkan.''Kemauan mengamandemen UU No 10/2008 merupakan langkah yang tidak sesuai dengan aspirasi bagi upaya perbaikan kualitas demokrasi,'' papar Nursanita.
Tidak Mungkin Kesepakatan Partai Kalahkan Ketentuan Undang-undang
H. Jazuli Juwaini, MA,Rakyat Merdeka
29 Agustus 2008
Kritik terhadap rencana revisi terbatas Undang-Undang Pemilu juga dilontarkan anggota DPR dari F-PKS Jazuli Juwaini. Menurut dia, usulan perubahan terbatas UU Pemilu kurang elok dan memberikan preseden buruk bagi pendidikan politik masyarakat. "Ada empat catatan atas rencana revisi ini," kata Jazuli Juwaini kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Pertama, perubahan undang-undang memberi pesan inkonsistensi terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama. Kedua, undang-undang yang telah diputuskan mudah diubah-ubah mengikuti selera kepentingan (sesaat) internal masing-masing parpol. Ketiga, akan muncul persepsi bahwa UU Pemilu dibuat tanpa pemikiran dan perencanaan yang matang. Dan keempat, rakyat semakin apatis terhadap arah perpolitikan.
"Klausul yang dibahas panjang lebar, dalam waktu yang panjang, dapat dengan mudah digonta-ganti atau disiasati semau pembuat undang-undang. Ini tidak elok,” katanya
Jazuli menegaskan, PKS akan tetep konsisten melaksanakan UU Pemilu, dan tidak ikut-ikutan mendukung usul perubahan tersebut. “Kalau mau jujur, FPKS termasuk yang tegas mengusulkan penetapan calon terpilih menggunakan suara terbanyak pada saat pembahasan RUU Pemilu hingga detik terakhir," ungkap dia.
Namun, usulan tersebut kandas akibat ditentang oleh beberapa partai. Hasilnya sebagaimana dirumuskan pada Pasal 214 UU Pemilu. Anehnya kini ada partai yang dulu menolak suara terbanyak, sekarang justru berbalik mendukung usul itu sehingga menimbulkan kekisruhan ini.”
Kendati begitu, dia memahami usulan sejumlah anggota Dewan akan melakukan amandemen atau revisi UU Pemilu No 10/2008 bertujuan untuk mencegah potensi konflik yang sangat mungkin terjadi akibat penetapan caleg terpilih yang berbeda dengan undang-undang.
"Tidak mungkin kesepakatan partai mengalahkan ketentuntuan di dalam UU Pemilu. Partai-partai yang menerapkan suara terbanyak akan digugat oleh kadernya yang merasa dirugikan nanti pada saat penetapan calon terpilih," tegasnya.
PPP Usulkan Satu Cara Penentuan Calon Terpilih
H. Jazuli Juwaini, MA,Kamis, 28 Agustus 2008
Koran Tempo
Jakarta -- Sejumlah partai politik menolak penambahan klausul baru dalam penetapan calon legislator terpilih dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. "Kalau mau memperoleh kepastian hukum, seharusnya hanya ada satu klausul," kata Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Syaifuddin ketika dihubungi kemarin. "Kalau mau suara terbanyak, ya, suara terbanyak saja."
Menurut Lukman, syarat undang-undang merupakan kesepakatan partai politik. Apabila cara lain dimasukkan lagi, seperti suara terbanyak, akan ada dua mekanisme dalam undang-undang. Akibatnya, aturan bisa dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Sebanyak 60 anggota Dewan dari lima fraksi dalam Sidang Paripurna DPR dua hari lalu mengusulkan penambahan klausul suara terbanyak pada pasal 214 mengenai cara penetapan calon terpilih dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pengusul merupakan anggota fraksi dari Partai Golongan Karya, Partai Amanat Nasional, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, Bintang Reformasi, dan Bintang Pelopor Demokrasi.
Ketua Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Ja'far menilai revisi undang-undang akan menguras energi. "Saya kira tidak efektif," kata dia ketika dihubungi kemarin. Begitu pun anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini. Ia menilai rencana itu menjadi preseden buruk pendidikan politik karena DPR akan dinilai membuat aturan sesuai dengan kepentingannya. "Ini tidak elok."
Namun, Komisi Pemilihan Umum mendukung perubahan aturan pemilihan. Anggota Komisi, I Gusti Putu Artha, mengusulkan agar perubahan juga menyangkut tata cara penghitungan suara sah. “Kami khawatir akan ada banyak suara tak sah,” kata Putu. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Masruchah menilai suara terbanyak akan menggusur calon legislator perempuan.
Mendagri Tetap Pakai Acuan SE Incumbent
H. Jazuli Juwaini, MA,Koran Seputar Indonesia
Kamis, 21 Agutus 2008
JAKARTA (SINDO) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto tetap akan berpedoman pada surat edaran (SE) yang sudah diterbitkannya untuk mengatur pengunduran diri incumbent.
Menurut Mendagri, SE tersebut dapat dijadikan rujukan sebelum diterbitkan aturan baru.”Untuk sementara menggunakan SE dulu karena ini mendesak dan putusan MK (MahkamahKonstitusi) harus segera dilaksanakan.Kalau menunggu PP( peraturan pemerintah), kita harus menunggu pertemuan dulu dengan DPR,”tandas Mardiyanto di Jakarta kemarin.
Mardiyanto menyatakan,dalam SE tersebut sudah jelas tertulis aturan-aturan yang harus dilaksanakan oleh incumbent jika akan mengikuti pilkada. SE itu, ujar dia,merupakan perintah yang bisa digunakan untuk sementara waktu. Diketahui sebelumnya, Mendagri Mardiyanto telah mengeluarkan SE Nomor 188.2/2302/Sj pascakeluarnya putusan MK terkait aturan mundur incumbent kepala daerah yang mencalonkan diri dalam pilkada.
Dalam SE tersebut dijelaskan, pemerintah akan membuat aturan lebih lanjut untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh incumbent. Selain itu,untuk menjamin fairness dalam penyelenggaraan pilkada,SE itu juga menyebutkan agar incumbent wajib menjaga netralitas pegawai negeri sipil (PNS) agar penyelenggaraan pemerintah dapat berjalan efektif dan efisien.
Selain itu, incumbent dilarang menggunakan APBD dan fasilitas negara yang terkait dengan jabatannya. Kemudian, pengawasan terhadap incumbent dilakukan oleh pengawas yang berwenang,termasuk gubernur. Anggota Komisi II DPR Jazuli Juwaeni mengatakan,keluarnya SE Mendagri bisa dijadikan rujukan untuk menjamin fairness dalam penyelenggaraan pilkada.
Namun,Jazuli meminta agar PP segera dibentuk untuk lebih menguatkan aturan pascaputusan MK. ”SE jangan lama-lama. Karena untuk menjamin fairness dalam pilkada harus dengan aturan yang lebih tinggi,” tandasnya.Menurut dia, aturan dalam bentuk PP atau aturan teknis lain kelak dikonsultasikan dengan DPR.PP tersebut nantinya harus bisa benarbenar menjamin fairness.Misalnya,aturan terkait cuti.
92% DPS Akan Kehilangan Hak
H. Jazuli Juwaini, MA,Koran Seputar Indonesia
Kamis 21 Agustus 2008
JAKARTA (SINDO) – Sebanyak 92,7% calon pemilih yang sudah tercatat dalam daftar pemilih sementara (DPS) terancam kehilangan hak suaranya. Hal itu disebabkan para calon pemilih tidak mengetahui tahapan-tahapan pemilu yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), termasuk tahapan pengecekan DPS.
Angka ini didapatkan dari audit daftar pemilih yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Dalam auditnya, LP3ES menemukan bahwa 79,2 % calon pemilih telah terdaftar dalam DPS.Namun, hasil audit tersebut juga menunjukkan sekitar 92,7 % calon pemilih tidak mengetahui periode pengecekan nama dalam DPS. Konsekuensinya,calon pemilih terancam tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan kehilangan hak suara.
Audit tersebut dilakukan 7–11 Agustus 2008 dengan jumlah 7.800 responden yang dipilih secara multistage stratified random sampling.Audit tersebut mempunyai tingkat kepercayaan sebesar 95% dan ambang batas kesalahan ±2,5%.
Kepala Divisi Penelitian LP3ES Fajar Nursahid menyatakan, kenyataan tersebut disebabkan kurangnya sosialisasi yang dilakukan KPU. ”Sistem yang baru di mana calon pemilih yang harus aktif tidak diketahui oleh masyarakat karena minimnya sosialisasi KPU,” tandas Fajar saat mempresentasikan hasil audit daftar pemilih 2008 LP3ES di Jakarta kemarin.
Fajar juga menyampaikan agar KPU sebaiknya melakukan evaluasi internal terkait proses pengumuman DPS.Upaya tersebut perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana sosialisasi dan pemasangan DPS di lapangan. Dia juga mengatakan seharusnya KPU mempertimbangkan untuk memperpanjang masa pengumuman DPS. ”Sebab, calon pemilih yang belum mengerti bisa menyusul untuk mengecek namanya dalam DPS,”tandasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay mengatakan, perubahan prosedur pendaftaran pemilu membutuhkan sosialisasi yang intens dari KPU. ”Sistem yang baru ini kan perubahan dari masyarakat yang pasif menjadi aktif, maka sosialisasi daftar pemilih tidak cukup hanya diumumkan sekali lewat saja, perlu sosialisasi yang intens dan itu tidak dilakukan KPU,”ujar Hadar.
Menurut Hadar, KPU tidak cukup dengan memperpanjang masa pengumuman DPS saja. Sebenarnya yang paling mendesak, ujar dia, adalah memperbaiki dan menata ulang DPS.Sebab,proses penyusunan DPS sejak awal tidak sesuai dengan aturan perundangan.
”Data dari pemerintah, yakni DP4, seharusnya melalui pencocokan dan penelitian (coklit) atau dimutakhirkan menurut UU Pemilu, tetapi hal itu tidak dilakukan sepenuhnya oleh KPU,” ujarnya.
Karena itu, banyak data dalam DPS yang menggunakan data pemilih saat pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar di daerah. Dengan demikian, tingkat kevalidan data DPS juga diragukan. Jika data ini tidak segera diperbaiki, akan sangat rawan memunculkan gugatan kepada KPU.
”Penataan ulang data diperlukan untuk mendapatkan data yang berkualitas untuk pemilu yang berkualitas. Kalau datanya kotor akan sangat rentan memunculkan gugatan,”tandasnya.
Anggota Komisi II DPR Jazuli Juwaini mengatakan, kinerja KPU memang cenderung lamban. Padahal, ujar dia, peran DPS sangat penting dalam pemilu.Menurut dia, DPS adalah salah satu pilar demokrasi dalam pemilu.” Jika DPS tidak diketahui masyarakat, demokrasi dalam pemilu bisa dipertanyakan,” ujarnya.
Ke depan, hendaknya KPU memanfaatkan media massa untuk tahapan yang perlu diketahui masyarakat banyak. ”Jika parpol yang caleg perempuannya tidak sampai 30% saja diumumkan di media massa, seharusnya DPS juga diperlakukan serupa,” ujarnya.